Soetardjo
Kartohadikoesoemo merupakan seorang priyayi yang berasal dari partai politik P.
P. B. B. Petisi Soetardjo Kartohadikoesoemo diajukan dalam sidang Volksraad
pada tanggal 15 Juli 1936 dan dibicarakan pada 17-28 September 1936. Petisi
tersebut pertama kali didukung oleh Ratu Langie, Kasimo, Ko Kwat Tiong, Alatas,
Datoe’ Toemenggoeng. Adapun isi petisi Soetardjo adalah:
Kami
jang bertanda tangan dibawah ini dengan hormat menjorongkan oesoel, soepaja Volksraad,
dengan menggoenakan hak, jang diberikan kepada madjelis itoe dalam fasal 68
daripada oendang-oendang Indische Staatregeling, mengandjoerkan permohonan
kepada pemerintahan tinggi dan Staaten Generaal, soepaja soekalah menolong daja
oepaja akan soepaja diadakan satoe sidang permoesjawaratan daripada
Hindia-Nederland, jang sidang permoesjawaratan itoe dengan memakai atoeran hak
bersamaan antara anggota-anggotanja, akan mengatoer satoe rentjana, bagi
memberikan kepada Hindia-Nederland dengan djalan berangsoer-angsoer, didalam
tempo sepoeloeh tahoen, ataupoen didalam tempo jang oleh sidang
permoesjawaratan itoe akan dianggap dapat melakoekannja, kedoedoekan berdiri
sendiri di dalam batas-batas fasal 1 daripada Grondwet.[1]
Beberapa
alasan dukungan mereka adalah:
1.
Bahwa
dalam perdjalanan riwajat beberapa abad adalah kepentingan-kepentingan
Nederland dan Indonesia dalam kebendaan telah mendjadi bertali-berkelindan
dengan amat rapatnja, sehingga pertjeraian antara kedoea negeri itoe tidaklah
akan dapat berlakoe, melainkan dengan keroegian jang besar-besar.
2.
Oentoek
kepentingan tambah sedjahtera dan sentosa kedoea-doea bagian keradjaan itoe
perloelah kerdja bersama jang sangat rapat dan sangat sehati.
3.
Dalam
beberapa tahoen jang kemoedian ini adalah perasaan jang tidak sedap hati,
perasaan lesoe dan koerang mengindahkan perkara politik, telah mendjalar dalam
darah golongan ahli pikiran dari pada pergaoelan Indonesia, teroetama kaoem
terpeladjarnja, jang perasaan itoe menoelar poela kepada ra’jat kebanjakan jang
berdjoeta-djoeta, sehingga mematikan semangat kegembiraan.
4.
Kegembiraan
semangat itoe adalah satoe sjarat jang tak boleh tidak oentoek kemadjoean, jang
menghendaki soepaja segala tenaga ra’jat digerakkan pada segala medan
kehidoepan: sosial, ekonomi dan politik.
5.
Semangat
kegembiraan itoe hanjalah dapat dihidoepkan, apabila dengan sengadja dan
menoeroet rentjana jang tentoe-tentoe dioesahakan kedoedoekan, jang dapat
memoeaskan hadjat-hadjat kebangsaan dan keboedajaan dan kesedjahteraan rezki
golongan-golongan dalam doea bangsa itoe, jang soeka mengoesahakan kerdja
bersama jang telah toemboeh didalam riwajat itoe.
6.
Bahwa
pada pendapatan jang bertanda tangan, dengan djalan peroebahan bangoenan dan
soesoenan jang berangsoer-angsoer dapatlah dikaroeniakan kepada Indonesia hak
berdiri sendiri dalam lingkoengan fasal 1 dari pada Grondwet.
7.
Maka
dengan hormat dimohon pertimbangan, soepaja diadakan permoesjawaratan daripada
doea bangsa itoe diatas dasar persamaan oentoek mengadakan rentjana bagi
mengerdjakan peroebahan-peroebahan seperti jang dikendaki dalam fasal 6 itoe.[2]
Adapun
fasal 1 Grondwet mengatakan bahwa “adapoen koninkrijk der Nederlanden melipoeti
daerah tanah Hindia-Nederland, Suriname, dan Curacao”.[3] Mengapa
Soetardjo memilih merdeka 50%? Petisi tersebut lahir akibat adanya krisis
ekonomi yang menghantam Indonesia. Krisis tersebut membuat masyarakat Indonesia
memiliki beban pajak yang berat, harga kebutuhan pokok melonjak tajam, dan
segala kebijakan ekonomi, politik, dan sosial ditentukan oleh negara induk
(Nederland). Salah satu kutipan pidato I. J. Kasimo dapat menggambarkan
perampasan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
“bahwa
dimana Nederland melakoekan pekerdjaan oentoek Hindia, disitoe adalah djoega
hadjat keperloean Nederland jang beroentoeng; tapi dimana Hindia berboeat
apa-apa oentoek keperloean Nederland, adalah perboeatan Hindia itoe berarti
bantoean jang lantas kepada indoestri Nederland, jang tidak ada goena dan
faedahnja oentoek Hindia, malah kerap kali mendjadi keroegiannja teroetama
keroegian golongan ra’jat fakir-miskin disebabkan kenaikan harga barang atau
lain-lain”[4]
Hal
itu merupakan sebuah langkah kemunduran dalam menerapkan proses desentralisasi
yang tercantum dalam Indische
Staatregeling. Tidak hanya itu kepentingan Nederland di Indonesia
semata-mata hanya mencari keuntungan. Oleh sebab itu, petisi Soetardjo diajukan
untuk memperoleh kesejajaran, bukan penjajahan. Masalah jabatan politik juga
memiliki peran dalam pengajuan usul tersebut. Golongan bangsa Indonesia
mengajukan petisi itu dengan tujuan agar kesempatan politik diberikan kepada
bangsa Indonesia. Karena hanya bangsa Indonesialah yang mengerti kehendak
rakyat Indonesia, bukan pejabat dari Nederland.
Petisi
yang diajukan oleh Soetardjo merupakan wujud semangat kemandirian bangsa dan
proses desentralisasi yang murni harus diterapkan, bukan hanya sebuah tulisan
diatas kertas. Petisi tersebut memiliki tujuan agar posisi Indonesia memiliki
posisi yang sejajar dengan bangsa Belanda, tidak sebagai bangsa yang dijajah. Petisi
ini bukan berarti melepaskan hubungan antara Indonesia dengan Belanda
(Merdeka), akan tetapi sebuah tuntutan pelaksanaan Indische Staatregeling.
Petisi
tersebut tidak terhitung sebagai sebuah usulan yang baru, karena sebelumnya
komisi perubahan, Snouck Hurgronje, Van Vollenhoven, dan Kusumo Utoyo telah
mengusulkan agar Hindia-Belanda dapat berdiri sendiri dan memberikan supaya
kedudukan politik yaitu pejabat tinggi dipegang oleh seorang anak negeri.[5] Petisi
tersebut juga mampu membelah anggota-anggota Volksraad ke dalam tiga buah
golongan. Golongan pertama adalah golongan yang secara tegas menolak petisi tersebut.
Golongan kedua adalah golongan yang secara tegas mendukung petisi tersebut.
Golongan ketiga adalah golongan yang mendukung petisi tersebut dengan berbagai
macam pertimbangan.
Adapun
anggota yang menyetujui petisi tersebut adalah Wermuth, Prawoto, M. H. Thamrin,
Van Ardenne, Ratoe Langie, Koesoemo Oetoyo, Alatas, Beets, Roep, Kasimo,
Soetardjo, White, Datoe’ Toemenggoeng, Leunissen, Soangkoepon, Soekawati,
Kartowisastro, Boestan, Iskandar Dinata, Jahja, Gandasoebrata, Ko Kwat Tiong,
Doeve, De Hoog, Mapoedji dan Abdul Rasjid. Sedangkan anggota yang menolak
adalah Eekhout, Janssen, Van Lonkhuyzen, Notosoetarso, Van Helsdingen, Van
Balen, Sandkuyl, Van Kasteren, Hildebrand, Kruyne, Sosrohadikoesoemo, Weyer,
Verboom, Soeroso, Wiwoho, Kerstens, Wirjopranoto, njonja Razoux Schultz,
Mohammad Noor dan Voorzitter.
Sebuah
hal menarik terjadi dalam pemilihan suara tersebut. Wirjopranoto dan Wiwoho
yang tergabung dalam Fraksi Nasional[6]
menolak petisi tersebut. Sikap kedua tokoh tersebut bukanlah sebuah langkah pembelotan,
akan tetapi sebuah bentuk kesetiaan kepada cita-cita Fraksi Nasional yang
menginginkan kemerdekaan Indonesia sepenuhnya. Disisi lain, Fraksi Nasional
yang diwakili oleh M. H.Thamrin menyetujui petisi tersebut dengan alasan bahwa
“…didalam
oesoel itoe ada satoe pasal, jang menjebabkan bagian jang terlebih banjak
sekali daripada fraksi kami maoe djoega menjoekakan oesoel itoe, jaitoe pasal
mengadakan permoesjawaratan dengan Nederland bagi meroendingkan kedoedoekan
negri-negri disini dalam soesoenan negara dimasa jang akan datang”.
Perbedaan
pandangan tersebut tidak membuat Fraksi Nasional mengalami perpecahan, akan
tetapi semakin keras bersuara ditahun-tahun berikutnya. Fraksi Nasional dan
berbagai golongan politik memiliki banyak pertanyaan terkait petisi tersebut.
Beberapa hal yang ditanyakan adalah terkait posisi golongan bangsa yang sedikit
jumlahnya yang kemudian mengerucut kepada pembahasan inheemsche (penduduk dalam negeri), Rijksraad (Dewan Kerajaan), dan
permasalahan batas waktu sepuluh tahun.
Golongan
yang menolak petisi tersebut menanyakan bagaimana kedudukan kaum minoritas
Indo-Eropa, Indo-Cina, dan Indo-Arab jika Hindia berdiri sendiri. Golongan
tersebut melalui wakilnya yaitu tuan van Helsdingen mengatakan bahwa itu
bukanlah inheemsche, akan tetapi inlandsche. Maksud dari perkataannya
adalah Hindia hanya untuk orang asli Hindia yang terdiri berbagai macam suku.
Hal itu disanggah oleh Datoe’ Toemenggoeng yang mengatakan bahwa
“…
kami hendak menetapkan, bahwa dalam hukum negara kami memahamkan dengan sebutan
itoe: segala golongan ra’jat, jang memandang negeri ini sebagai tanah airnja,
jang tidak menggantoengkan nasibnja kepada oentoeng malangnja sesoeatoe negeri
diloear Indonesia.”[7]
Pernyataan
Datoe’ Toemenggoeng dengan jelas mengatakan bahwa Indonesia terbuka bagi setiap
bangsa yang menyatakan dirinya bahwa Indonesia merupakan tanah air yang
dicintainya. Golongan yang menolak petisi tersebut kembali menekan dengan menanyakan
apakah kaum minoritas Indo-Eropa, Indo-Arab, dan Indo-Cina akan memiliki wakil
dalam kegiatan politik? Hal tersebut dijawab bahwa setiap golongan yang ada di
Indonesia akan memiliki wakil dalam berbagai lapangan kehidupan. Perdebatan
tentang inheemsche dan perwakilan
politik tidak usai hingga petisi ini diajukan kepada Ratu Wilhelmina dan
Staaten Generaal. Permasalahan yang juga dibicarakan dalam Volksraad adalah
terkait Rijksraad.
Soetardjo
dalam pidatonya mengatakan bahwa posisi Rijksraad adalah sebagai lembaga
pemberi advise (pemberi saran). Anggota Rijksraad terdiri dari perwakilan dari
anggota kerajaan Belanda yaitu Indonesia, Curacao, Suriname, dan Belanda.
Golongan yang menolak petisi Soetardjo mengatakan siapakah yang dapat duduk di
Rijksraad dari Indonesia? Sedangkan persatuan Indonesia saja tidak ada. Perdebatan
berlanjut dengan panas karena van Helsdingen mengatakan bahwa
“barang siapa hendak berkata atas nama bangsa
Indonesia, sebagai nama himpoenan daripada segala bangsa di Hindia, jang tidak
terbilang djoemlahnja itoe, soekarlah akan dapat menoendjoekkan soerat koeasa,
jang akan memboektikan bahwa ia mempoenjai hak akan berkata demikian. Dan
barang siapa hendak berdiri sebagai penjamboeng soeara daripada jang
dikatakannja persatoean bangsa Hindia-Nederland jang bersoeara rapat, hanjalah
akan dapat mengeliroekan orang jang tidak tahoe”[8]
Pernyataan
van Helsdingen secara tegas dimaksudkan bahwa tidak ada wakil dari bangsa
Indonesia yang dapat menunjukkan bahwa persatuan itu ada di kalangan bangsa
Indonesia. Orang yang mengaku sebagai penyambung lidah rakyat hanya membodohi
rakyat yang tidak memiliki pengetahuan. Pernyataan tersebut kemudian dibantah
oleh Roep yang berasal dari partai Politik Ekonomische Bond (PEB), yang
merupakan partai Indo-Eropa pendukung zelfbestuur
(pemerintahan sendiri) Indonesia. Roep
mengatakan bahwa
“…jaitoe
bahwa kehendak berdiri sendiri itoe adalah terlebih dan teroetama sekali satoe
perkara mengenai rasa dan tjita-tjita. Ia hidoep dalam hati tiap-tiap manoesia,
di dalam semangat tiap-tiap bangsa, maka karena itoe kita hendak
menghargakannja dan mengakoeinja dengan sepenoeh-penoehnja”[9]
Dukungan
roep merupakan sebuah perkataan yang tepat. Hal itu dikarenakan setiap rasa
kemerdekaan dan persatuan yang telah tumbuh berada dalam setiap bangsa di
Indonesia. Hal itu tidak perlu diwakilkan dan jika Nederland menuntut
perwakilan bangsa yang menginginkan kemerdekaan, maka Fraksi Nasional adalah
wujud daripada tuntutan tersebut.
Golongan
pendukung petisi tersebut mengatakan bahwa hal itu salah, persatuan telah ada
dan akan semakin kuat. Indonesia dalam Rijksraad akan diwakili oleh satu orang
dari golongan bangsa Indonesia. Lebih lanjut, beberapa anggota Volksraad
mengajukan usulan agar Rijksraad dijadikan sebagai lembaga yang menyelesaikan
sengketa antar anggota kerajaan Belanda. Usulan Rijksraad inilah yang membuat
Fraksi Nasional mendukung petisi ini.
Golongan
yang menolak petisi ini mempermasalahkan terkait batas waktu yang diberikan,
yaitu sepuluh tahun. Bagi golongan yang menolak petisi tersebut, jangka waktu
sepuluh tahun terlalu cepat, sedangkan bangsa Indonesia belum mampu berpolitik.
Soetardjo menjawabnya dengan mengatakan bahwa bangsa belanda bolehlah membantu
bangsa Indonesia, akan tetapi secara berangsur-angsur bangsa belanda harus
melepaskan bangsa Indonesia.[10]
Soetardjo juga mengatakan bahwa terkait jangka waktu itu dapat dibicarakan
lebih lanjut dalam permusyawaratan Hindia dengan Nederland.
Soetardjo
pada tanggal 28 September 1936 memberikan pidatonya yang melandasi lahirnya
petisi tersebut. Soetardjo menjawab keheranan masyarakat terkait mengapa petisi
tersebut lahir dari seorang pegawai negeri pemerintah Hindia Belanda dan
seorang priyayi. Soetardjo mengungkapkan bahwa
“adapoen
akan perkara jang sangat ditegaskan perkataan atasnja oleh toean van
Helsdingen, jaitoe perkara prijaji banjak oetang. Hendaklah dipikirkan, bahwa
keadaan tidak baik itoe njata sekali mesti boleh dapat diperbaiki. Sebagai lagi
tidak haroes diloepakan, bahwa oetang-oetang itoe sebagian besar terdapat
sebabnja karena prijaji-prijaji itoe tidak berdaja berhadapan dengan lakoe
kedjadjahan jang terpakai didalam negeri ini.”[11]
Salah
satu faktor utama munculnya petisi tersebut adalah kondisi ekonomi yang dialami
oleh para pejabat negara. Sehingga Soetardjo mengingatkan bahwa “…prijaji
pemerintahan oentoek kepentingan mendjaga kebesaran kekoeasaan, mesti hidoep
dengan tjara jang sesoenggoehnja melebihi kekoeatannja perkara oeang”[12]
Perdebatan
diakhiri dengan penandatanganan petisi yang kemudian diajukan kepada Ratu
Wilhelmina dan Staaten Generaal. Petisi ini ditolak pada tanggal 14 November
1938. Pada perkembangannya penolakkan tersebut memunculkan berbagai macam
reaksi dari bangsa Indonesia. Akan tetapi reaksi yang paling keras di dalam Volksraad
adalah ucapan-ucapan anggota Fraksi Nasional yang semakin keras menuntut
kemerdekaan penuh.
NB:
Tulisan ini merupakan ringkasan dari buku yang dapat dipesan diperpustakaan
nasional dengan catalog http://opac.pnri.go.id/DetaliListOpac.aspx?pDataItem=Hindia+berdiri+sendiri+%3a+usul+petisi+Soetardjo+cs.+dan+para+pembitjaraan+dalam+Volksraad+%2f+salinan+oleh+Hadji+A.+Salim&pType=Title&pLembarkerja=-1
[1] Halaman 1
[2] Halaman 7
[3] Halaman 10
[4] Halaman 24
[5] Halaman 66-67
[6] Fraksi Nasional
didirikan pada tanggal 27 Januari 1930 dengan tujuan mencapai Indonesia Merdeka
dengan jalan yang sah. Fraksi Nasional memiliki anggota M. H. Thamrin (kaum
Betawi), Iskandardinata (Pasoendan), Soeroso (PVPN), Koesoemo Oetojo,
Dwidjosewojo, Soekardjo Wirjopranoto, Wiwoho Poerbohadidjojo (BO), Mochtar bin
Praboe Mangkoe Negara (Sumatera), Abdul Firman Gelar Maharadja Soangkoepon
(Batak), dan Jahja Datoek Kajo (Sumatera) dalam Matu Mona. (1950). Penghidupan dan Perdjuangan Mohd. Husni
Thamrin. Medan: Pustaka Timur. hlm. 20.
[7] Halaman 61
[8] Halaman 31
[9] Halaman 53
[10] Halaman 126
[11] Halaman 125
[12] Halaman 126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar