Tulisan-tulisan
Sukarno dan Hatta yang sangat hangat dalam berdiskusi terdapat dalam
koran-koran fikiran ra’jat dan Utusan Indonesia. Agar lebih mudahnya pembaca
dapat menemukan tulisan tersebut dalam buku Dibawah Bendera Revolusi Jilid I
dan buku Otobiografi Mohammad Hatta: Untuk Negeriku. Kedua buku tersebut
menjelaskan perbedaan pendapat dan diskusi hangat antara Sukarno dan Hatta.
Perdebatan
tersebut diawali oleh adanya persilangan pendapat antara Sukarno dan Hatta
terkait paham nonkooperasi serta hangatnya nuansa politik antara Partai Nasional
Indonesia dengan Pendidikan Nasional Indonesia. Sebenarnya keduanya memiliki
sebuah pandangan yang sama yaitu menolak bekerjasama dengan pemerintah jajahan
dalam sebuah parlemen yang dibentuk oleh pemerintah. Akan tetapi sebuah kabar
yang belum diverifikasi kebenarannya terdengar oleh Sukarno. Berita tersebut
dimuat oleh majalah Aneta yang mengumumkan penerimaan tawaran kandidat anggota Tweede Kamer dari Partai Sosialis Merdeka.
Kabar
tersebut membuat Sukarno geram dan mengatakan bahwa “seseorang jang mau
duduk dalam Tweede Kamer, sekalipun ia membanting tenaga sehaibat-haibatnja,
berdjoang disana mati-matian menentang imperialisme Belanda, orang itu adalah
seorang cooperator.”[1] Kalimat
Sukarno tersebut memiliki alasan karena dalam proses terpilihnya seorang
anggota Tweede Kamer, maka anggota terpilih tersebut harus mengucapkan sumpah
setianya kepada Undang-Undang Dasar Belanda.
Sukarno
yang termakan hoax semakin terpancing emosinya dengan mendikte perilaku Hatta
jika terpilih menjadi anggota Tweede Kamer. Sukarno mengatakan bahwa
“salah
barang tentu, saudara Hatta di Den Haag tidak akan berfoja-foja sahadja,
saudara Hatta di Den Haag akan berdjoang, akan membanting tulang, akan
mengeluarkan tenaga, akan memandi keringat beranggar dengan kaum imperialis dan
kapitalis. Saudara Hatta di Den Haag akan berkelahi mati-matian dengan musuh
kita jang angkara murka. Saudara Hatta dengan sukanya pergi ke Den Haag itu,
tidak berbalik mendjadi lunak, tidak berbalik mendjadi orang “apem”, tidakpun
berbalik mendjadi orang jang tidak radikal. Kita mengetahui ini semuanya. Kita sebagai
tahadi kita kemukakan, djuga mengetahui bahwa misalnja kaum C. R. Das, kaum
OSP, kaum Komunis, jang duduk di dewan atau diparlemen itu, bukan duduk disitu
buat foja-foja, bukan duduk disitu buat mendjadi lunak, bukan duduk disitu
mendjadi kaum “apem”, tetapi adalah disitu berdjoang dan tetap bersikap
radikal.”[2]
Sukarno
menduga bahwa Hatta yang suka hidup di Belanda akan berfoya-foya jika telah
menjadi anggota Tweede Kamer. Hatta akan sangat berbeda dengan kaum komunis
yang masuk dalam keanggotaan Tweede Kamer. Darsono ketika itu diajukan sebagai
kandidat anggota Tweede Kamer mewakili C. P. H. Ketika proses pemilihan
berlangsung, Perhimpunan Indonesia menyerukan kepada anggotanya yang telah
memiliki hak pilih untuk memilih Darsono sebagai pahlawan bangsa Indonesia
bukan sebagai anggota C. P. H.[3] Sukarno
yang terbawa hati yang panas mengatakan bahwa “kalau hanja buat berdjoang
sahadja, di Volksraad pun orang bisa berdjoang!”[4]
Beberapa
hari setelah berita yang dikeluarkan oleh Aneta tersebut, majalah Sin Po dan
Utusan Indonesia mencoba untuk menanyakan perihal tawaran kursi Tweede Kamer
yang diterima Hatta. Hatta menjawab bahwa
“aku
menjawab bahwa OSP benar meminta aku dengan telegram untuk dikandidatkan menjadi
anggota Tweede Kamer. Pertnyaan kedua membikin geli hatiku sebab aku belum
membalas permintaan itu, artinya belum menyatakan apa-apa, tetapi aneta dan
orang dari luaran sudah memberikan jawaban untuk aku.”[5]
Pernyataan
aneta yang mendahului pernyataan dari sumber yang bersangkutan adalah sebuah
cara untuk membuat kesimpulan yang dapat memberikan keuntungan baginya. Sin Po
dan Utusan Indonesia kemudian meminta kepada Hatta untuk menjelaskan prinsip
dasar nonkooperasi bagi masyarakat. Hatta kemudian menjelaskan
“nonkooperasi
bermaksud tidak mau bekerja sama dengan pemerintah jajahan. dan di negeri
jajahan ia menolak schijn-parlement,
dewan rakyat yang palsu [Volksraad], yang diciptakan oleh pemerintah untuk
mengelabui mata rakyat. Taktik nonkooperasi ialah menarik garis antara sana dan
sini untuk membangun semangat rakyat, supaya sanggup mendirikan masyarakat
sendiri. Nonkooperasi yang sejalan dengan memboikot raad-raad yang bukan dewan
rakyat terdapat di negeri jajahan. Akan tetapi, pemboikotan itu tidak pernah
ditujukan kepada parlemen, yang dipilih oleh rakyat dengan algemeen kiesrecht
seperti Tweede Kamer, yang bukan pula dewan jajahan. Dewan ini dipandang perlu
boleh dipakai untuk menyerang kolonial imperialisme.”[6]
Hatta
memahami bahwa volksraad yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda tidak
sepenuhnya menjalankan prinsip demokrasi. Volksraad didirikan untuk mengelabui
mata rakyat Indonesia dan dunia agar pemerintah Hindia Belanda dipandang telah
menjalankan prinsip demokrasi tersebut. Hal itu berbeda dengan Tweede Kamer,
perbedaan itu terletak dalam prinsip demokrasi terutama check and balances. Volksraad tidak memiliki hak tersebut hingga
akhir hayatnya, meskipun secara legal formal tercantum hak check and balances, akan tetapi dalam pelaksanaannya tidak
dilakukan.
Mungkin
pembaca sedikit bertanya mengapa Hatta dapat diajukan sebagai kandidat Tweede
Kamer di Belanda? Padahal Hatta adalah seorang Indonesia dan sedang berada di
Indonesia. Hal itu dapat dijawab melalui Atoeran Pemerintahan Hindia yang
menyebutkan bahwa “Dinegeri belanda misalnja seorang boemipoetera, jang
dilahirkan di Hindia, dan jang orang toeanja tinggal di Hindia,-djadi dia itoe
seorang ra’jat belanda tinggal di tanah belanda,- maka diapoen mempoenjai hak
memilih lid parlement sebagai seorang belanda; dan diapoen djoega dipilih djadi
lid parlemen itoe.”[7]
Berdasarkan peraturan tersebut, maka Hatta dapat diajukan sebagai anggota
Tweede Kamer.
Hatta
kemudian memberikan jawaban kepada OSP pada tanggal 13 Desember 1932 yang
mengatakan bahwa “Saudara De Kadt, sebagai keterangan pada jawaban saya dengan
kawat yang berbunyi: tidak bersedia, keterangan dengan surat menyusul”[8]
Hatta menambahkan keterangannya bahwa jika dia terpilih melalui rapat pengurus
PNI, maka dia akan menolaknya karena Hatta akan berusaha memberikan tenaganya
bagi perjuangan bangsa Indonesia, di negeri Indonesia.
Berdasarkan
peristiwa tersebut, kehati-hatian dan sikap verifikasi sumber berita harus
dikedepankan. Hal itu diperlukan agar kita tidak dapat termakan hoax yang
ditujukan untuk mengambil keuntungan bagi pihak-pihak tertentu. Dewasa ini,
hoax dapat tersebar dengan mudah dan cepat melalui berita online. Verifikasi atau
klarifikasi akan berita tersebut harus dikedepankan. Pembaca juga harus
memiliki kepekaan akan sebuah judul artikel. Judul artikel yang terkesan
menyudutkan atau tidak berimbang lebih baik tidak dibaca karena akan mengundang
emosi sesat, bukan sesaat. Mari kedepankan verifikasi sumber (kritik sumber),
demi menghindari hoax.
[1] Soekarno. 1963.
Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Djakarta:
Panitia Penerbit. hlm. 207-208.
[2] Ibid. hlm. 213.
[3] Moh. Hatta.
2015. Politik, Kebangsaan, Ekonomi
(1926-1977). Jakarta: Kompas. hlm. 157.
[4] Op. cit.
[5] Moh. Hatta. 2011.
Untuk Negeriku: Berjuang dan Dibuang.
Jakarta: kompas. hlm. 50.
[6] Ibid. hlm. 51.
[7] J. Riphagen.
1927. Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda.
Weltevreden: Balai Poestaka. hlm 7.
[8] Op. cit. hlm. 53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar