Soetandyo Wignjosoeroto. 2014. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Jakarta:
Huma.
Hukum
pidana Belanda merupakan sebuah warisan yang diberikan oleh Napoleon dan biasa
dikenal sebagai Codes Napoleon pada
tahun 1810. Hukum pidana atau Code Penal
diterapkan di Belanda pada tahun 1938 setelah adanya pertentangan dengan
Belanda Selatan yang kemudian merdeka pada tahun 1830 menjadi sebuah negara
yang bernama Belgia.[1]
Hukum pidana tersebut kemudian diterapkan juga di Hindia Belanda dan pada saat
itu, Hindia Belanda ditetapkan menjadi sebuah wilayah yang menggunakan sumber
hukum untuk mengadili seseorang.
Code Penal
yang diterapkan di Hindia Belanda hanya berlaku bagi kalangan eropa. Oleh sebab
itu, setiap tindak pidana yang dilakukan oleh penduduk pribumi tidak melalui
proses hukum. Tahun 1848, amandemen Undang-Undang Dasar Belanda (Grondwet) dilakukan. Amandemen tersebut
“….memerintahkan
agar peraturan-peraturab hukum yang diperlukan untuk pemerintahan daerah
jajahan (dalam hal penetapan pokok-pokok kebijakannya, dan dalam hal penetapan
anggaran pendapatan dan belanja negera, misalnya) untuk selanjutnya haruslah
dibuat dalam bentuk undang-undang (wet),
yang berarti harus turut mengundang turut campurnya kebijakan parlemen
(khususnya kamar kedua), dan tidak cukup kalau hanya dibuat dalam bentuk
keputusan raja (Koninklijk Besluit)
Belaka.”[2]
Amandemen
itu merupakan salah satu bentuk cara mereduksi kekuasaan ratu Wilhelmina dalam
mengambil kebijakan bagi negeri jajahan. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh paham
liberalism yang mulai berkembang di kalangan masyarakat Belanda.
Tahun
1847, sebuah peraturan yang dirancang oleh Scholten van Oud-Harlem dan
Koninklijk Besluit 16 Mei 1847 memutuskan bahwa membentuk badan-badan
pengadilan bagi pribumi dan eropa. Adapun susunan lembaga peradilan tersebut
adalah sebagai berikut:
Pengadilan bagi Pribumi Pengadilan
bagi Eropa
Pengadilan desa merupakan
sebuah lembaga yang menyelesaikan sengketa dalam lingkup terkecil dalam sebuah
tatanan masyarakat pribumi. Pengadilan desa tidak diperintah langsung oleh
pemerintah Hindia Belanda. Districtsgerecht adalah suatu badan pengadilan yang
diselenggarakan di daerah-daerah kawedanan (distrik) untuk orang-orang pribumi,
dengan wedana (pejabat pemerintahan yang berkedudukan langsung di bawah bupati)
bertindak sebagai hakim dalam perkara-perkara perdata, berkenaan dengan objek
sengketa yang berharga tak lebih dari 20 gulden, dan perkara-perkara pelanggaran
yang diancam pemidanaan denda setinggi-tingginya tiga gulden. Keputusan-keputusan
disitrichtsgerecht ini dicatat dalam register, dengan salinan yang dalam jangka
waktu 14 hari sudah dikirimkan ke Regentschapsgerecht
(yang berwenang memeriksa ulang dalam tingkat banding). Regentschapsgerecht adalah suatu badan pengadilan yang
diselenggarakan di kabupaten-kabupaten untuk orang-orang pribumi, dengan regent
(bupati) atau wakilnya (patih) bertindak sebagai hakim. Regent diwajibkan menyertakan penghulu dan seorang pegawai
kehakiman kolonial dalam sidang-sidang pemeriksaan perkara, sekalipun dalam hal
mengambil keputusan ia boleh bertindak atas tanggungjawab sendiri. Regentschapsgerecht
berkompetensi mengadili perkara-perkara perdata yang berkenaan dengan
sengketa-sengketa atas objek seharga antara 20 sampai 50 gulden. Landraad adalah badan pengadilan
sehari-hari yang normal untuk orang-orang pribumi kebanyakan. Landraad diketuai oleh residen,
pejabat-pejabat tinggi pemerintah kolonial yang selalu berkebangsaan belanda
atau eropa dan berkedudukan langsung dibawah gubernur, dengan sebuah majelis
yang terdiri dari bupati, patih, wedana, dan/atau asisten wedana (camat). Landraad berkompetensi mengadili
perkara-perkara perdata antara orang-orang pribumi yang mempersengketakan objek
seharga sekurang-kurangnya 50 gulden, atau yang berharga kurang dari 50 gulden
apabila penggugatnya terbilang orang dari golongan eropa. Keputusan Landraad dapat
dimintakan banding (ke Raad van Justitie)
dan kasasi (ke Hooggerechtshof). De Rechtbank van Ommegang adalah lembaga
pengadilan yang bertugas mengadili kejahatan-kejahatan berat, seperti
pembunuhan, perampokan, pemberontakan, pembakaran dll yang dapat dijatuhi
hukuman mati. Keputusan-keputusan De
Rechtbank van Ommegang dapat dimintakan banding ke Hooggerechtshof. Hakim yang bertugas adalah empat orang hakim
pribumi dan diketuai oleh seorang hakim ahli hukum yang ditunjuk langsung oleh
gubernur jendral. Hakim-hakim pribumi ini bersidang secara berkeliling ke
tiap-tiap rechtbank sekurang-kurangnya sekali dalam dua bulan. Akan tetapi
peradilan ini dihapus pada tahun 1901. Rechtspraak
ter Politierol adalah lembaga yang menangani perkara yang ringan dengan
ancaman pidana yang tak lebih besar dari denda sebanyak 25 gulden. Lembaga ini
juga bertugas untuk meneliti sebuah perkara sebelum diajukan ke landraad. Lembaga ini dipimpin oleh
seorang ahli hukum professional yang diangkat secara khusus. Lembaga ini
dibubarkan pada tahun 1901 dan digantikan dengan landgerecht pada tahun 1914. Residentiegerecht adalah lembaga yang
khusus menangani perkara orang eropa dan berada di kota-kota keresidenan atau
kabupaten. Peradilan Residentiegerecht
dipimpin langsung oleh residen. Raad van
Justitie adalah lembaga peradilan yang mempunyai yuridiksi untuk mengadili
orang-orang eropa dimanapun ia bermukim di Hindia Belanda. Raad van Justitie juga dapat mengadili para bangsawan pribumi. Raad van Justitie juga bertugas sebagai
badan tingkat banding bagi keputusan landraad
dalam perkara-perkara perdata yang berobjek sengketa seharga 500 gulden dan
perkara pidana yang cukup berat. Hooggerechtshof
adalah lembaga peradilan yang memiliki kedudukan tertinggi di Hindia Belanda. Berkompetensi
dalam gugatan perdata yang diajukan kepada pemerintah atau gubernur jendral,
serta sebagai lembaga pengadilan banding dari keputusan Raad van Justitie dan tingkat kasasi landraad.[1]
Berdasarkan
penjelasan diatas, maka dapat diketahui bahwa pada saat berlakunya Grondwet 1848 eksekutif tidak hanya
bertugas menjalankan fungsinya akan tetapi juga bertugas sebagai badan
yudikatif. Oleh sebab itu, kaum liberalis yang yan semakin pesat
perkembangannya pada tahun 1854, mampu menelurkan Regeringsreglement 1854. RR
1854 merupakan produk hukum yang mengubah Hindia Belanda yang sebelumnya negara
kekuasaan (machtsstaat) menjadi
negara hukum (rechstaat). Hal itu
dapat dilihat dari pasal 79 yang menyiratkan asas trias politika yang
menghendaki diserahkannya kekuasaan peradilan ke tangan hakim yang bebas, pasal
88 memerintahkan dilaksanakannya asas legalitas dalam proses pemidanaan; dan
pasal 89 melarang pemidanaan yang menyebabkan seseorang akan kehilangan hak-hak
perdatanya.[2]
Berdasarkan
RR 1854, masyarakat Indonesia secara legal dibagi menjadi tiga buah golongan yang
tercantum dalam pasal 5, 9 dan 11. RR 1854 juga menjadikan Raad van Indie sebagai badan penasehat bagi gubernur jendral. Sebelum
munculnya RR 1854, Raad van Indie
bertugas menjalankan pemerintahan ketika adanya pergantian gubernur jendral. Badan
ini sekaligus sebagai badan pertimbangan bagi setiap keputusan gubernur jendral.
Kaum
liberalis Belanda semakin berusaha keras menerapkan prinsip kebebasan mereka di
tanah jajahan. Kaum liberalis menggunakan dalih bahwa kemiskinan dan
kesengsaraan Hindia Belanda hanya akan dapat dituntaskan dengan cara memberikan
peluang bagi para investor menanamkan modalnya. Hal itu kemudian terwujud dalam
Undang-Undang Pertanian (cultuurwet)
dan Agrarische Wet. Cultuurwet memberikan
beberapa hak kepada rakyat pribumi. Hak itu antara lain:
1.
Hak eigendom
sebagai hak milik berdasarkan hukum perdata eropa untuk tanah-tanah yang selama
ini telah mereka duduki dan kuasai secara individual dan turun-temurun.
2.
Hak untuk menyewakan tanah kepada
siapapun, termasuk yang bukan pribumi.
3.
Hak erfpacht
(sewa tanah jangka panjang).[3]
Agrarische Wet
yang dilahirkan oleh kaum liberalis merupakan sebuah alat pembenaran atas hukum
tidak tertulis yang berlaku di masyarakat pribumi. Hukum tidak tertulis
tersebut mengatakan bahwa siapa yang menggarap tanah dia itulah yang harus dipandang
sebagai orang yang mempunyai hak atas tanah tersebut.[4]
Berdasarkan
peraturan tersebut, pemerintah Hindia Belanda juga menerapkan sistem kerja
paksa atau rodi (Hereedienst). Kebijakan
ini merupakan sebuah cara yang diadopsi oleh pemerintah Hindia Belanda dari
sistem yang telah berlaku di masyarakat pribumi. Hal itu dikenal sebagai sebuah
tradisi perhambaan yang dilakukan oleh pribumi bagi keperluan raja secara
sukarela.[5] Hal
itu juga memberikan inspirasi bagi pemerintah untuk menerapkan koeli ordonantie dan poenale sanctie. Hal itu dilakukan
pemerintah karena pekerja pada waktu itu seringkali meninggalkan pekerjaannya
tanpa sepengetahuan majikan.
Tahun
1903 terjadi sebuah perubahan (amandemen) terhadap RR 1854. Perubahan tersebut dilakukan
dengan cara menyisipkan empat buah pasal 68a 68b, 68c, dan 69. Pasal-pasal
tersebut dikenal sebagai pasal een
financiele decentralisatie. Pasal-pasal tersebut membuka kesempatan bagi
terwujudnya desentralisasi secara bertahap. Melalui decentralisatie wet 1903, pemerintah mendirikan volksraad dan sekolah hakim di Batavia yang
bernama Rechtsschool. Decentralisatie wet 1903 kemudian
diamandemen oleh Indischestaatregeling
1925 yang merupakan pijakan pemerintah dalam mendirikan landrosten
(provinsi pasundan yang didirikan pada 1 Januari 1926, oost java yang didirikan pada 1 Januari 1929, dan midden java yang didirikan pada 1
Januari 1930) dan regentschappen.
Sekolah
kehakiman yang didirikan pada tahun 1909 kemudian berubah menjadi rechtschoogeschool pada tahun 1924. Untuk
menjadi bagian dari sekolah ini, pribumi harus memiliki ijazah Eropean Lager School. Hal itu menjadikan
lulusan dan anggota yang tergabung dalam sekolah ini sangat elitis dan
mengalahkan sekolah kedokteran stovia. Sebelum sekolah ini berdiri, banyak
pemuda Indonesia yang bersekolah di Belanda dan lulus dengan gelar meester in
recht seperti Mr. Soepomo dan Mr. Gondokoesoemo.
Sekolah
ini didirikan atas gagasan gubernur jendral rooseboom yang mendapatkan ide dari
surat R. Achmad Djajanegara. Secara garis besar surat tersebut bertuliskan
pertanyaan bagaimana nasib anaknya yang bersekolah di Belanda jika tidak mampu
mendapatkan tempat (pekerjaan di Hindia Belanda), karena adanya kebijakan
hakim-hakim hanya boleh diisi oleh pejabat eropa. Surat tersebut kemudian
memberikan ide agar didirikan sebuah sekolah hakim di Hindia Belanda untuk
mendidik anak-anak pribumi sebagai hakim yang mampu mengatasi permasalahan bagi
penduduk pribumi sendiri.
Para
elitis yang tergabung dalam sekolah hakim ini ternyata memiliki rasa kebangsaan
yang tinggi. Mereka kemudian mendirikan koran de stuw pada tahun 1930. Koran ini banyak dipengaruhi oleh
pemikiran indologi universitas leiden yang digerakkan oleh van vollenhoven dan Ter
Haar. Koran dan sekolah hukum ini kemudian menjelma sebagai sebuah benteng
pertahanan hukum adat bangsa Indonesia dari serangan unifikasi hukum yang
berusaha digerakkan oleh jurusan indologi universitas Utrecht.
[1] 34
[2] 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar