Minggu, 26 Februari 2017

Sejarah Hukum Kolonial

Soetandyo Wignjosoeroto. 2014. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional. Jakarta: Huma.

Hukum pidana Belanda merupakan sebuah warisan yang diberikan oleh Napoleon dan biasa dikenal sebagai Codes Napoleon pada tahun 1810. Hukum pidana atau Code Penal diterapkan di Belanda pada tahun 1938 setelah adanya pertentangan dengan Belanda Selatan yang kemudian merdeka pada tahun 1830 menjadi sebuah negara yang bernama Belgia.[1] Hukum pidana tersebut kemudian diterapkan juga di Hindia Belanda dan pada saat itu, Hindia Belanda ditetapkan menjadi sebuah wilayah yang menggunakan sumber hukum untuk mengadili seseorang.
Code Penal yang diterapkan di Hindia Belanda hanya berlaku bagi kalangan eropa. Oleh sebab itu, setiap tindak pidana yang dilakukan oleh penduduk pribumi tidak melalui proses hukum. Tahun 1848, amandemen Undang-Undang Dasar Belanda (Grondwet) dilakukan. Amandemen tersebut
“….memerintahkan agar peraturan-peraturab hukum yang diperlukan untuk pemerintahan daerah jajahan (dalam hal penetapan pokok-pokok kebijakannya, dan dalam hal penetapan anggaran pendapatan dan belanja negera, misalnya) untuk selanjutnya haruslah dibuat dalam bentuk undang-undang (wet), yang berarti harus turut mengundang turut campurnya kebijakan parlemen (khususnya kamar kedua), dan tidak cukup kalau hanya dibuat dalam bentuk keputusan raja (Koninklijk Besluit) Belaka.”[2]

Amandemen itu merupakan salah satu bentuk cara mereduksi kekuasaan ratu Wilhelmina dalam mengambil kebijakan bagi negeri jajahan. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh paham liberalism yang mulai berkembang di kalangan masyarakat Belanda.
Tahun 1847, sebuah peraturan yang dirancang oleh Scholten van Oud-Harlem dan Koninklijk Besluit 16 Mei 1847 memutuskan bahwa membentuk badan-badan pengadilan bagi pribumi dan eropa. Adapun susunan lembaga peradilan tersebut adalah sebagai berikut:

Pengadilan bagi Pribumi                                          Pengadilan bagi Eropa



Pengadilan desa merupakan sebuah lembaga yang menyelesaikan sengketa dalam lingkup terkecil dalam sebuah tatanan masyarakat pribumi. Pengadilan desa tidak diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda. Districtsgerecht adalah suatu badan pengadilan yang diselenggarakan di daerah-daerah kawedanan (distrik) untuk orang-orang pribumi, dengan wedana (pejabat pemerintahan yang berkedudukan langsung di bawah bupati) bertindak sebagai hakim dalam perkara-perkara perdata, berkenaan dengan objek sengketa yang berharga tak lebih dari 20 gulden, dan perkara-perkara pelanggaran yang diancam pemidanaan denda setinggi-tingginya tiga gulden. Keputusan-keputusan disitrichtsgerecht ini dicatat dalam register, dengan salinan yang dalam jangka waktu 14 hari sudah dikirimkan ke Regentschapsgerecht (yang berwenang memeriksa ulang dalam tingkat banding). Regentschapsgerecht adalah suatu badan pengadilan yang diselenggarakan di kabupaten-kabupaten untuk orang-orang pribumi, dengan regent (bupati) atau wakilnya (patih) bertindak sebagai hakim. Regent diwajibkan menyertakan penghulu dan seorang pegawai kehakiman kolonial dalam sidang-sidang pemeriksaan perkara, sekalipun dalam hal mengambil keputusan ia boleh bertindak atas tanggungjawab sendiri. Regentschapsgerecht berkompetensi mengadili perkara-perkara perdata yang berkenaan dengan sengketa-sengketa atas objek seharga antara 20 sampai 50 gulden. Landraad adalah badan pengadilan sehari-hari yang normal untuk orang-orang pribumi kebanyakan. Landraad diketuai oleh residen, pejabat-pejabat tinggi pemerintah kolonial yang selalu berkebangsaan belanda atau eropa dan berkedudukan langsung dibawah gubernur, dengan sebuah majelis yang terdiri dari bupati, patih, wedana, dan/atau asisten wedana (camat). Landraad berkompetensi mengadili perkara-perkara perdata antara orang-orang pribumi yang mempersengketakan objek seharga sekurang-kurangnya 50 gulden, atau yang berharga kurang dari 50 gulden apabila penggugatnya terbilang orang dari golongan eropa. Keputusan Landraad dapat dimintakan banding (ke Raad van Justitie) dan kasasi (ke Hooggerechtshof). De Rechtbank van Ommegang adalah lembaga pengadilan yang bertugas mengadili kejahatan-kejahatan berat, seperti pembunuhan, perampokan, pemberontakan, pembakaran dll yang dapat dijatuhi hukuman mati. Keputusan-keputusan De Rechtbank van Ommegang dapat dimintakan banding ke Hooggerechtshof. Hakim yang bertugas adalah empat orang hakim pribumi dan diketuai oleh seorang hakim ahli hukum yang ditunjuk langsung oleh gubernur jendral. Hakim-hakim pribumi ini bersidang secara berkeliling ke tiap-tiap rechtbank sekurang-kurangnya sekali dalam dua bulan. Akan tetapi peradilan ini dihapus pada tahun 1901. Rechtspraak ter Politierol adalah lembaga yang menangani perkara yang ringan dengan ancaman pidana yang tak lebih besar dari denda sebanyak 25 gulden. Lembaga ini juga bertugas untuk meneliti sebuah perkara sebelum diajukan ke landraad. Lembaga ini dipimpin oleh seorang ahli hukum professional yang diangkat secara khusus. Lembaga ini dibubarkan pada tahun 1901 dan digantikan dengan landgerecht pada tahun 1914. Residentiegerecht adalah lembaga yang khusus menangani perkara orang eropa dan berada di kota-kota keresidenan atau kabupaten. Peradilan Residentiegerecht dipimpin langsung oleh residen. Raad van Justitie adalah lembaga peradilan yang mempunyai yuridiksi untuk mengadili orang-orang eropa dimanapun ia bermukim di Hindia Belanda. Raad van Justitie juga dapat mengadili para bangsawan pribumi. Raad van Justitie juga bertugas sebagai badan tingkat banding bagi keputusan landraad dalam perkara-perkara perdata yang berobjek sengketa seharga 500 gulden dan perkara pidana yang cukup berat. Hooggerechtshof adalah lembaga peradilan yang memiliki kedudukan tertinggi di Hindia Belanda. Berkompetensi dalam gugatan perdata yang diajukan kepada pemerintah atau gubernur jendral, serta sebagai lembaga pengadilan banding dari keputusan Raad van Justitie dan tingkat kasasi landraad.[1]

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat diketahui bahwa pada saat berlakunya Grondwet 1848 eksekutif tidak hanya bertugas menjalankan fungsinya akan tetapi juga bertugas sebagai badan yudikatif. Oleh sebab itu, kaum liberalis yang yan semakin pesat perkembangannya pada tahun 1854, mampu menelurkan Regeringsreglement 1854. RR 1854 merupakan produk hukum yang mengubah Hindia Belanda yang sebelumnya negara kekuasaan (machtsstaat) menjadi negara hukum (rechstaat). Hal itu dapat dilihat dari pasal 79 yang menyiratkan asas trias politika yang menghendaki diserahkannya kekuasaan peradilan ke tangan hakim yang bebas, pasal 88 memerintahkan dilaksanakannya asas legalitas dalam proses pemidanaan; dan pasal 89 melarang pemidanaan yang menyebabkan seseorang akan kehilangan hak-hak perdatanya.[2]
Berdasarkan RR 1854, masyarakat Indonesia secara legal dibagi menjadi tiga buah golongan yang tercantum dalam pasal 5, 9 dan 11. RR 1854 juga menjadikan Raad van Indie sebagai badan penasehat bagi gubernur jendral. Sebelum munculnya RR 1854, Raad van Indie bertugas menjalankan pemerintahan ketika adanya pergantian gubernur jendral. Badan ini sekaligus sebagai badan pertimbangan bagi setiap keputusan gubernur jendral.
Kaum liberalis Belanda semakin berusaha keras menerapkan prinsip kebebasan mereka di tanah jajahan. Kaum liberalis menggunakan dalih bahwa kemiskinan dan kesengsaraan Hindia Belanda hanya akan dapat dituntaskan dengan cara memberikan peluang bagi para investor menanamkan modalnya. Hal itu kemudian terwujud dalam Undang-Undang Pertanian (cultuurwet) dan Agrarische Wet. Cultuurwet memberikan beberapa hak kepada rakyat pribumi. Hak itu antara lain:
1.      Hak eigendom sebagai hak milik berdasarkan hukum perdata eropa untuk tanah-tanah yang selama ini telah mereka duduki dan kuasai secara individual dan turun-temurun.
2.      Hak untuk menyewakan tanah kepada siapapun, termasuk yang bukan pribumi.
3.      Hak erfpacht (sewa tanah jangka panjang).[3]
Agrarische Wet yang dilahirkan oleh kaum liberalis merupakan sebuah alat pembenaran atas hukum tidak tertulis yang berlaku di masyarakat pribumi. Hukum tidak tertulis tersebut mengatakan bahwa siapa yang menggarap tanah dia itulah yang harus dipandang sebagai orang yang mempunyai hak atas tanah tersebut.[4]
Berdasarkan peraturan tersebut, pemerintah Hindia Belanda juga menerapkan sistem kerja paksa atau rodi (Hereedienst). Kebijakan ini merupakan sebuah cara yang diadopsi oleh pemerintah Hindia Belanda dari sistem yang telah berlaku di masyarakat pribumi. Hal itu dikenal sebagai sebuah tradisi perhambaan yang dilakukan oleh pribumi bagi keperluan raja secara sukarela.[5] Hal itu juga memberikan inspirasi bagi pemerintah untuk menerapkan koeli ordonantie dan poenale sanctie. Hal itu dilakukan pemerintah karena pekerja pada waktu itu seringkali meninggalkan pekerjaannya tanpa sepengetahuan majikan.
Tahun 1903 terjadi sebuah perubahan (amandemen) terhadap RR 1854. Perubahan tersebut dilakukan dengan cara menyisipkan empat buah pasal 68a 68b, 68c, dan 69. Pasal-pasal tersebut dikenal sebagai pasal een financiele decentralisatie. Pasal-pasal tersebut membuka kesempatan bagi terwujudnya desentralisasi secara bertahap. Melalui decentralisatie wet 1903, pemerintah mendirikan volksraad dan sekolah hakim di Batavia yang bernama Rechtsschool. Decentralisatie wet 1903 kemudian diamandemen oleh Indischestaatregeling 1925 yang merupakan pijakan pemerintah dalam mendirikan  landrosten (provinsi pasundan yang didirikan pada 1 Januari 1926, oost java yang didirikan pada 1 Januari 1929, dan midden java yang didirikan pada 1 Januari 1930) dan regentschappen.
Sekolah kehakiman yang didirikan pada tahun 1909 kemudian berubah menjadi rechtschoogeschool pada tahun 1924. Untuk menjadi bagian dari sekolah ini, pribumi harus memiliki ijazah Eropean Lager School. Hal itu menjadikan lulusan dan anggota yang tergabung dalam sekolah ini sangat elitis dan mengalahkan sekolah kedokteran stovia. Sebelum sekolah ini berdiri, banyak pemuda Indonesia yang bersekolah di Belanda dan lulus dengan gelar meester in recht seperti Mr. Soepomo dan Mr. Gondokoesoemo.
Sekolah ini didirikan atas gagasan gubernur jendral rooseboom yang mendapatkan ide dari surat R. Achmad Djajanegara. Secara garis besar surat tersebut bertuliskan pertanyaan bagaimana nasib anaknya yang bersekolah di Belanda jika tidak mampu mendapatkan tempat (pekerjaan di Hindia Belanda), karena adanya kebijakan hakim-hakim hanya boleh diisi oleh pejabat eropa. Surat tersebut kemudian memberikan ide agar didirikan sebuah sekolah hakim di Hindia Belanda untuk mendidik anak-anak pribumi sebagai hakim yang mampu mengatasi permasalahan bagi penduduk pribumi sendiri.
Para elitis yang tergabung dalam sekolah hakim ini ternyata memiliki rasa kebangsaan yang tinggi. Mereka kemudian mendirikan koran de stuw pada tahun 1930. Koran ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran indologi universitas leiden yang digerakkan oleh van vollenhoven dan Ter Haar. Koran dan sekolah hukum ini kemudian menjelma sebagai sebuah benteng pertahanan hukum adat bangsa Indonesia dari serangan unifikasi hukum yang berusaha digerakkan oleh jurusan indologi universitas Utrecht.



[1] 54-58.
[2] 20
[3] 73
[4] 76
[5] 80


[1] 34
[2] 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar