Kamis, 29 Desember 2016

KAMI YANG MEMUJA ANGKA


Angka bagi mahasiswa merupakan sebuah hal yang penting dalam sebuah proses perkuliahan. Seringkali angka juga menjadi sebuah pembunuh yang sangat efektif dan bertujuan untuk membunuh karakter kritis, peduli, dan berani dalam menuntut sebuah keadilan. Bukan hanya sebuah alat untuk membunuh karakter mahasiswa, angka juga dapat menjadi sebuah alat penanaman pemikiran tentang materialisme. Materialisme adalah sebuah paham yang mengakui adanya wujud nyata (kebendaan) dan menolak adanya paham tentang nonbenda (metafisik). Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis tidak hanya mengartikan bahwa materialisme merupakan paham yang menekankan kebendaan (harta), akan tetapi juga nilai dan waktu.

Angka yang digunakan untuk membunuh karakter mahasiswa dapat dilihat ketika mahasiswa menghadapi sebuah keadaan. Keadaan itu dapat kita lihat ketika mahasiswa dihadapkan dalam sebuah kondisi yang menuntutnya mengambil sikap. Mahasiswa dihadapkan dalam sebuah kondisi dimana seorang dosen telah bersepakat bersama-sama hadir diruang perkuliahan tepat pada pukul 07.30. Akan tetapi dosen tersebut tidak dapat hadir dan baru bisa hadir sekitar pukul 08.00 dan hal itu merupakan sebuah kebiasaan dosen tersebut.
Dosen yang tidak konsisten dengan kesepakatan tersebut membuat banyak mahasiswa yang tidak hormat kepadanya, akan tetapi kebanyakan dari mereka dibungkam. Mereka dibungkam dengan angka, angka yang menjadi sebuah hal yang sangat penting bagi mereka. Angka inilah yang kemudian penulis sebut sebagai sebuah alat untuk membunuh karakter mahasiswa. Mahasiswa sebenarnya paham bahwa yang dilakukan oleh dosen tersebut adalah sebuah kesalahan dan perlu diingatkan. Akan tetapi mereka tidak memiliki keberanian mengatakannya karena angka. Pernahkah pembaca mengalami hal ini? Jika pernah maka bangkitlah dari ketakutan dan katakan pada sebuah kebenaran. Mari sedikit kita melihat perjalanan bangsa kita yang dilahirkan oleh orang-orang yang dibunuh karakternya.
Bangsa Indonesia lahir dari pemuda yang juga dibungkam dengan angka. Perbedaan mendasarnya adalah para pemuda pejuang dibungkam dengan cara tidak akan memiliki kekayaan jika melawan pemerintah jajahan. Mereka dibungkam dengan harta, sedangkan mahasiswa dibungkam dengan nilai yang tidak hanya dianggap penting bagi mahasiswa tersebut tetapi juga kedua orang tuanya yang rela berkeringat agar anaknya mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Penulis disini yakin apabila kita bercerita tentang keadaan dunia pendidikan tinggi kepada orang tua tentu mereka juga akan bersedih hati, tetapi mereka juga akan membungkam dirinya. Penulis yakin bahwa orang tua mahasiswa juga tidak akan menyuruh agar anaknya memperjuangkan hak-haknya, karena mereka takut nilai anaknya tidak menjamin kehidupan selanjutnya.
Penulis yang berlatarbelakang sejarah berusaha mengambil sebuah kalimat yang pernah dilontarkan oleh Mohammad Hatta. Beliau mengatakan bahwa kejujuran kami melarang menjadi seorang penakut. Kejujuran inilah yang membawa kemerdekaan bangsa kita, bangsa Indonesia. Kejujuran dalam menuntut keadilan, hak, dan melepaskan diri pembunuhan karakter. Pemikiran ini harus kembali dihadirkan kepada mahasiswa, karena mahasiswalah yang mampu menyadarkan kedua orang tua, dunia pendidikan, dan masyarakat umum akan arti angka yang sebenarnya. Angka yang mampu menjelaskan kemampuan seseorang, penghargaan terhadap seseorang, dan sebuah alat evaluasi yang menyeluruh dari dunia pendidikan.
Angka yang diberikan secara jujur akan melahirkan seorang mahasiswa yang memiliki kejujuran dan mampu memberikannya kepada masyarakat. Angka yang diberikan atas dasar kedekatan dan ketertundukan seorang mahasiswa hanya akan membentuk seorang mahasiswa yang “bajingan” di masyarakat. Tentu, untuk mencapai angka yang diberikan secara jujur mahasiswa juga harus berusaha keras dan tidak banyak mengeluh.
Mahasiswa harus sadar bahwa tugas utama mereka adalah membaca, berdiskusi, dan menulis. Mahasiswa yang kritis, peduli, dan berani dalam mengatakan kebenaran hanya dihasilkan dari proses membaca, berdiskusi, dan menulis. Sedangkan mahasiswa yang tunduk kepada perampasan hak merupakan mahasiswa yang tidak menghabiskan waktu luangnya kepada tiga hal tersebut. Mahasiswa yang tidak memiliki jiwa kritis, peduli, dan berani akan cenderung mendekatkan dirinya kepada dunia hiburan, dalam hal ini piknik, ke mall, dan bermain menghabiskan waktunya sia-sia. Mari kita cari tahu dengan cara menanyakan berapa teman kelas anda yang membaca buku setiap harinya? Dan kemudian tanyakan berapa halaman yang biasa mereka habiskan? Penulis yakin tidak akan ada lebih dari 10% mahasiswa yang melakukan hal itu.
Aktivitas mereka yang terbiasa dengan kondisi tersebut juga mampu membuat karakternya menjadi seorang yang individualistik. Hal itu dikarenakan mereka telah terbiasa merasakan kebahagiaan yang selalu hadir hanya untuk dirinya. Mungkin hal itu dapat diibaratkan dengan perkataan yang lazim didengar yaitu “yang lain bodo amat yang penting gue bahagia”. Hal inilah yang membuat mereka tidak memiliki kepedulian dan kemudian tunduk dalam tekanan hanya untuk menyelamatkan dirinya. Keegoisan inilah yang juga membuat mereka tidak berusaha memperbaiki lingkungan yang salah. Mereka hanya berpikir tentang kebahagiaan dirinya dan angka yang diperoleh dari ketertundukannya kepada kesalahan. Mungkinkah kami (mahasiswa) memuja angka? Jawabannya ada dalam refleksi diri kita melalui tulisan ini.
Selanjutnya, penulis berusaha mengungkapkan pikirannya terkait figur teladan dalam dunia pendidikan tinggi dan kaitannya dengan angka. Teladan tersebut adalah seorang dosen yang menjadi sumber ilmu dan contoh seorang mahasiswa. Dosen dalam perannya memiliki tiga buah tugas yang tercantum dalam tridharma perguruan tinggi. Tiga hal tersebut adalah mengajar, meneliti, dan mengabdi. Dosen dalam menjalankan ketiga hal tersebut seringkali lebih mementingkan salah satu diantaranya. Hal yang biasanya paling diutamakan adalah meneliti. Meneliti akan memiliki daya guna yang besar bagi kemajuan masyarakat apabila ketika niat awal penelitian tersebut adalah mengabdi kepada masyarakat. Niat awal tersebutlah yang seringkali dipinggirkan dan digantikan niatan lain yaitu insentif yang diberikan dalam mengerjakan penelitian tersebut. Pemikiran inilah yang harus diubah dalam dunia pendidikan.
Melalui pemikiran tersebut, banyak dosen yang mengejar angka dalam arti harta dan meninggalkan tugas utamanya yaitu mengajar. Sehingga terkadang mengajar dianggap sebuah aktivitas dalam rangka mengisi waktu luang dalam penelitian. Padahal mereka harus sadar bahwa tugas utama mereka adalah mengajar. Dosen yang menjadi teladan harus paham benar akan tugas utamanya. Banyak dosen yang pedas mengkritik berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan oleh siapapun itu, akan tetapi mereka lupa untuk juga pedas mengkritik dirinya yang lupa akan tugas utamanya. Sekali lagi penulis mencoba menarik pembaca kepada masa lampau.
Belajar dari Ki Hajar Dewantara, seseorang intelektual ningrat yang rela menceburkan dirinya dalam rangka mencerdaskan kawula. Ki Hajar Dewantara ketika itu berinisiatif mendirikan sekolah swasta karena adanya perbedaan perlakuan dalam sekolah Belanda. Sekolah yang kemudian dinamakan Taman Siswa merupakan jerih payahnya untuk mengabdi kepada kawulanya. Ki Hajar Dewantara tidak memilih terus tinggal di dalam istana yang berlimpah dengan kebahagiaan akan angka yang berupa harta. Beliau menghabiskan angka tersebut dengan cara memberikan pendidikan agar kelak rakyat Indonesia paham arti keadilan.
Tidakkah kita paham akan maksud dan contoh laku dari seorang Ki Hajar Dewantara? Angka yang dimiliki seorang dosen adalah kecerdasan. Kecerdasan yang harus diabdikan dan diteruskan kepada mahasiswa. Bukan kecerdasan dalam rangka memperkaya dirinya melalui penelitian. Penelitian memang harus diadakan, akan tetapi niat awal dari sebuah penelitian harus diluruskan. Hal itu diperlukan agar tujuan penelitian sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, bukan tujuan mengejar angka melalui penelitian. Mungkinkah kami (dosen) memuja angka? Jawabannya ada dalam refleksi diri kita melalui tulisan ini.
Terakhir penulis akan berusaha menjabarkan kata angka dalam bingkai karyawan dan petinggi universitas. Berawal dari liberalisasi perguruan tinggi, pemerintah mendesak agar perguruan tinggi dapat berdiri sendiri dan hanya dibantu oleh sedikit anggaran negara. Melalui kebijakan itu, banyak perguruan tinggi yang mendirikan anak usah dalam rangka menyeimbangkan neraca keuangan. Pendirian anak usaha tersebut menurut penulis sangatlah wajar karena jika perguruan tinggi tidak mendirikan anak usaha, maka biaya akan dibebankan dalam uang kuliah mahasiswa. Tetapi penulis menemui keanehan diluar anak usaha yang dilakukan oleh perguruan tinggi.
Keanehan tersebut muncul ketika perguruan tinggi mengadakan sebuah acara seminar atau diskusi. Seringkali mahasiswa yang tidak ingin mengikutinya dipaksakan untuk hadir. Bahkan penulis pernah menemui peristiwa bahwa kehadiran mahasiswa bukan merupakan sebuah faktor yang paling penting, yang paling penting adalah kehadiran biaya pendaftaran yang dilakukannya. Hal itu bukan berarti penulis memiliki rasa belas kasih terhadap mahasiswa yang tidak mampu. Akan tetapi penulis lebih memiliki rasa belas kasih kepada pengelola acara tersebut karena pola pikir mereka tidak lagi sejalan dengan perjuangan bangsa Indonesia.
Mereka tidak lagi ingat bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia diperoleh atas dasar cita-cita persamaan derajat, persaudaraan, dan tanpa adanya penindasan yang dilakukan oleh penguasa. Jika pemaksaan itu dilakukan, bukankah disitu timbul adanya pemaksaan kehendak dari salah satu pihak? Mengejar angka boleh saja dilakukan, akan tetapi dengan cara yang wajar. Cara yang wajar itu dapat diwujudkan melalui menyelenggarakan sebuah seminar yang mengundang pembicara besar dan dapat menarik banyak peminat untuk hadir didalamnya. Pengunjung yang hadir dalam jumlah besar tersebut dapat meminimalisir pemikiran pemaksaan agar hadir dalam sebuah acara.
Penulis juga pernah menemukan pungutan liar dalam perguruan tinggi atas nama liberalisasi. Pungutan liar itu berbentuk biaya yang dikenakan dalam rangka legalisir ijazah. Ijazah yang biasanya digunakan untuk mencari pekerjaan dikenakan biaya dalam satu kali dan satu lembar legalisir. Padahal orang yang melakukan legalisir ijazah biasanya adalah seseorang yang sedang mencari pekerjaan. Penulis dalam hal ini juga tidak mengerti kemana aliran dana pembuatan legalisir ijazah tersebut. Hal itu disebabkan karena perguruan tinggi tidak akan berani transparan kepada pengguna layanan jasanya.
Hal lucu, unik, menarik, dan aneh juga pernah penulis temukan dalam proses administrasi lembar pertanggungjawaban (LPJ). Perguruan tinggi mewajibkan LPJ untuk dinolkan dalam setiap laporannya. Padahal seringkali mahasiswa menyisakan uang dalam sebuah kegiatan dan kemudian mengalihkannya untuk kegiatan lain. Bukankah ini suatu bentuk ketidakjujuran mahasiswa dan perguruan tinggi? Ketika itu seorang teman menanyakan mengapa hal itu terjadi? Pihak perguruan tinggi menjawabnya dengan alasan karena apabila ada anggaran yang tersisa maka anggaran akan dipotong untuk tahun depan.
Menurut penulis, hal itu bukanlah suatu alasan apabila ditahun depan sebuah perguruan tinggi mampu merancang keuangan dengan detail dan logis. Penulis juga memberikan solusi agar LPJ dilaporkan dengan keadaan yang sesungguhnya. Akan tetapi, setiap dana yang tersisa dan dialihkan juga kemudian dicantumkan. Hal itu semua dilakukan untuk memotong virus dan bibit koruptor di kalangan mahasiswa. Oleh sebab itu marilah kita kembali bertanya kepada diri kita mungkinkah kami (karyawan dan pemangku kepentingan pendidikan perguruan tinggi) memuja angka? Jawabannya ada pada diri kita.
Dunia pendidikan Indonesia akan mengalami kemajuan yang pesat apabila kami sebagai manusia intelektual menyadari cita-cita bangsa yang sesungguhnya dan kembali belajar dari masa lalu. Berdasarkan sejarah, kaum muda intelektual Indonesia adalah kaum yang ditakuti oleh penjajah karena tulisannya yang memiliki analisis yang tajam. Kami yang mewarisi hal itu haruslah memaksimalkannya untuk mencerdaskan bangsa dalam kesempatan kemerdekaan yang telah diberikan oleh genarasi sebelum kami. Salah satu tokoh muda yang berasal dari generasi sebelum kami, yaitu tan malaka pernah mengatakan bahwa bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.
Pernyataan tersebut merupakan sebuah peringatan bagi kaum intelektual muda Indonesia untuk terus mencerdaskan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan dalam mengakses pendidikan. Penulis membayangkan apabila budaya membaca dan berdebat melalui tulisan dihidupkan kembali sebagaimana ketika Mohammad Hatta dan Sukarno berdebat melalui tulisan. Maka, ketika itu juga banyak masyarakat miskin yang mampu mengakses pemikiran kaum intelektual tanpa perlu menghabiskan dana pendidikan yang mahal. Sekolah-sekolah murah muncul dimana-mana melalui koran dan situs-situs yang bersifat informatif, bukan provokatif.
Sekolah gratis tersebut dapat diakses oleh siapapun dan dimanapun. Sekolah gratis yang terdapat di koran dan situs dunia maya haruslah diisi oleh kaum-kaum intelektual. Intelektual inilah yang tidak hanya mencerdaskan bangsanya melalui penelitian, akan tetapi mencerdaskan bangsanya melalui cinta kasih yang tulus seperti halnya pejuang-pejuang muda yang telah gugur. Marilah kami untuk terus bercermin melalui sejarah bangsa dan terus berkarya demi kemajuan pendidikan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar