Angka
bagi mahasiswa merupakan sebuah hal yang penting dalam sebuah proses
perkuliahan. Seringkali angka juga menjadi sebuah pembunuh yang sangat efektif
dan bertujuan untuk membunuh karakter kritis, peduli, dan berani dalam menuntut
sebuah keadilan. Bukan hanya sebuah alat untuk membunuh karakter mahasiswa,
angka juga dapat menjadi sebuah alat penanaman pemikiran tentang materialisme. Materialisme
adalah sebuah paham yang mengakui adanya wujud nyata (kebendaan) dan menolak
adanya paham tentang nonbenda (metafisik). Berdasarkan penjelasan tersebut,
penulis tidak hanya mengartikan bahwa materialisme merupakan paham yang
menekankan kebendaan (harta), akan tetapi juga nilai dan waktu.
Angka
yang digunakan untuk membunuh karakter mahasiswa dapat dilihat ketika mahasiswa
menghadapi sebuah keadaan. Keadaan itu dapat kita lihat ketika mahasiswa
dihadapkan dalam sebuah kondisi yang menuntutnya mengambil sikap. Mahasiswa
dihadapkan dalam sebuah kondisi dimana seorang dosen telah bersepakat
bersama-sama hadir diruang perkuliahan tepat pada pukul 07.30. Akan tetapi
dosen tersebut tidak dapat hadir dan baru bisa hadir sekitar pukul 08.00 dan
hal itu merupakan sebuah kebiasaan dosen tersebut.
Dosen
yang tidak konsisten dengan kesepakatan tersebut membuat banyak mahasiswa yang tidak
hormat kepadanya, akan tetapi kebanyakan dari mereka dibungkam. Mereka
dibungkam dengan angka, angka yang menjadi sebuah hal yang sangat penting bagi
mereka. Angka inilah yang kemudian penulis sebut sebagai sebuah alat untuk
membunuh karakter mahasiswa. Mahasiswa sebenarnya paham bahwa yang dilakukan
oleh dosen tersebut adalah sebuah kesalahan dan perlu diingatkan. Akan tetapi
mereka tidak memiliki keberanian mengatakannya karena angka. Pernahkah pembaca
mengalami hal ini? Jika pernah maka bangkitlah dari ketakutan dan katakan pada
sebuah kebenaran. Mari sedikit kita melihat perjalanan bangsa kita yang
dilahirkan oleh orang-orang yang dibunuh karakternya.
Bangsa
Indonesia lahir dari pemuda yang juga dibungkam dengan angka. Perbedaan
mendasarnya adalah para pemuda pejuang dibungkam dengan cara tidak akan
memiliki kekayaan jika melawan pemerintah jajahan. Mereka dibungkam dengan
harta, sedangkan mahasiswa dibungkam dengan nilai yang tidak hanya dianggap
penting bagi mahasiswa tersebut tetapi juga kedua orang tuanya yang rela
berkeringat agar anaknya mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Penulis
disini yakin apabila kita bercerita tentang keadaan dunia pendidikan tinggi
kepada orang tua tentu mereka juga akan bersedih hati, tetapi mereka juga akan
membungkam dirinya. Penulis yakin bahwa orang tua mahasiswa juga tidak akan
menyuruh agar anaknya memperjuangkan hak-haknya, karena mereka takut nilai
anaknya tidak menjamin kehidupan selanjutnya.
Penulis
yang berlatarbelakang sejarah berusaha mengambil sebuah kalimat yang pernah
dilontarkan oleh Mohammad Hatta. Beliau mengatakan bahwa kejujuran kami
melarang menjadi seorang penakut. Kejujuran inilah yang membawa kemerdekaan
bangsa kita, bangsa Indonesia. Kejujuran dalam menuntut keadilan, hak, dan
melepaskan diri pembunuhan karakter. Pemikiran ini harus kembali dihadirkan kepada
mahasiswa, karena mahasiswalah yang mampu menyadarkan kedua orang tua, dunia
pendidikan, dan masyarakat umum akan arti angka yang sebenarnya. Angka yang
mampu menjelaskan kemampuan seseorang, penghargaan terhadap seseorang, dan
sebuah alat evaluasi yang menyeluruh dari dunia pendidikan.
Angka
yang diberikan secara jujur akan melahirkan seorang mahasiswa yang memiliki
kejujuran dan mampu memberikannya kepada masyarakat. Angka yang diberikan atas
dasar kedekatan dan ketertundukan seorang mahasiswa hanya akan membentuk
seorang mahasiswa yang “bajingan” di masyarakat. Tentu, untuk mencapai angka
yang diberikan secara jujur mahasiswa juga harus berusaha keras dan tidak
banyak mengeluh.
Mahasiswa
harus sadar bahwa tugas utama mereka adalah membaca, berdiskusi, dan menulis.
Mahasiswa yang kritis, peduli, dan berani dalam mengatakan kebenaran hanya
dihasilkan dari proses membaca, berdiskusi, dan menulis. Sedangkan mahasiswa
yang tunduk kepada perampasan hak merupakan mahasiswa yang tidak menghabiskan
waktu luangnya kepada tiga hal tersebut. Mahasiswa yang tidak memiliki jiwa
kritis, peduli, dan berani akan cenderung mendekatkan dirinya kepada dunia
hiburan, dalam hal ini piknik, ke mall, dan bermain menghabiskan waktunya
sia-sia. Mari kita cari tahu dengan cara menanyakan berapa teman kelas anda
yang membaca buku setiap harinya? Dan kemudian tanyakan berapa halaman yang
biasa mereka habiskan? Penulis yakin tidak akan ada lebih dari 10% mahasiswa
yang melakukan hal itu.
Aktivitas
mereka yang terbiasa dengan kondisi tersebut juga mampu membuat karakternya
menjadi seorang yang individualistik. Hal itu dikarenakan mereka telah terbiasa
merasakan kebahagiaan yang selalu hadir hanya untuk dirinya. Mungkin hal itu
dapat diibaratkan dengan perkataan yang lazim didengar yaitu “yang lain bodo amat yang penting gue bahagia”. Hal inilah yang membuat
mereka tidak memiliki kepedulian dan kemudian tunduk dalam tekanan hanya untuk
menyelamatkan dirinya. Keegoisan inilah yang juga membuat mereka tidak berusaha
memperbaiki lingkungan yang salah. Mereka hanya berpikir tentang kebahagiaan
dirinya dan angka yang diperoleh dari ketertundukannya kepada kesalahan. Mungkinkah
kami (mahasiswa) memuja angka? Jawabannya ada dalam refleksi diri kita melalui
tulisan ini.
Selanjutnya,
penulis berusaha mengungkapkan pikirannya terkait figur teladan dalam dunia
pendidikan tinggi dan kaitannya dengan angka. Teladan tersebut adalah seorang
dosen yang menjadi sumber ilmu dan contoh seorang mahasiswa. Dosen dalam
perannya memiliki tiga buah tugas yang tercantum dalam tridharma perguruan
tinggi. Tiga hal tersebut adalah mengajar, meneliti, dan mengabdi. Dosen dalam
menjalankan ketiga hal tersebut seringkali lebih mementingkan salah satu
diantaranya. Hal yang biasanya paling diutamakan adalah meneliti. Meneliti akan
memiliki daya guna yang besar bagi kemajuan masyarakat apabila ketika niat awal
penelitian tersebut adalah mengabdi kepada masyarakat. Niat awal tersebutlah
yang seringkali dipinggirkan dan digantikan niatan lain yaitu insentif yang
diberikan dalam mengerjakan penelitian tersebut. Pemikiran inilah yang harus
diubah dalam dunia pendidikan.
Melalui
pemikiran tersebut, banyak dosen yang mengejar angka dalam arti harta dan
meninggalkan tugas utamanya yaitu mengajar. Sehingga terkadang mengajar dianggap
sebuah aktivitas dalam rangka mengisi waktu luang dalam penelitian. Padahal
mereka harus sadar bahwa tugas utama mereka adalah mengajar. Dosen yang menjadi
teladan harus paham benar akan tugas utamanya. Banyak dosen yang pedas
mengkritik berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan oleh siapapun itu, akan
tetapi mereka lupa untuk juga pedas mengkritik dirinya yang lupa akan tugas
utamanya. Sekali lagi penulis mencoba menarik pembaca kepada masa lampau.
Belajar
dari Ki Hajar Dewantara, seseorang intelektual ningrat yang rela menceburkan
dirinya dalam rangka mencerdaskan kawula.
Ki Hajar Dewantara ketika itu berinisiatif mendirikan sekolah swasta karena
adanya perbedaan perlakuan dalam sekolah Belanda. Sekolah yang kemudian
dinamakan Taman Siswa merupakan jerih
payahnya untuk mengabdi kepada kawulanya.
Ki Hajar Dewantara tidak memilih terus tinggal di dalam istana yang berlimpah
dengan kebahagiaan akan angka yang berupa harta. Beliau menghabiskan angka
tersebut dengan cara memberikan pendidikan agar kelak rakyat Indonesia paham
arti keadilan.
Tidakkah
kita paham akan maksud dan contoh laku dari seorang Ki Hajar Dewantara? Angka
yang dimiliki seorang dosen adalah kecerdasan. Kecerdasan yang harus diabdikan
dan diteruskan kepada mahasiswa. Bukan kecerdasan dalam rangka memperkaya
dirinya melalui penelitian. Penelitian memang harus diadakan, akan tetapi niat
awal dari sebuah penelitian harus diluruskan. Hal itu diperlukan agar tujuan
penelitian sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, bukan tujuan mengejar angka
melalui penelitian. Mungkinkah kami (dosen) memuja angka? Jawabannya ada dalam
refleksi diri kita melalui tulisan ini.
Terakhir
penulis akan berusaha menjabarkan kata angka dalam bingkai karyawan dan
petinggi universitas. Berawal dari liberalisasi perguruan tinggi, pemerintah
mendesak agar perguruan tinggi dapat berdiri sendiri dan hanya dibantu oleh
sedikit anggaran negara. Melalui kebijakan itu, banyak perguruan tinggi yang
mendirikan anak usah dalam rangka menyeimbangkan neraca keuangan. Pendirian anak
usaha tersebut menurut penulis sangatlah wajar karena jika perguruan tinggi
tidak mendirikan anak usaha, maka biaya akan dibebankan dalam uang kuliah
mahasiswa. Tetapi penulis menemui keanehan diluar anak usaha yang dilakukan
oleh perguruan tinggi.
Keanehan
tersebut muncul ketika perguruan tinggi mengadakan sebuah acara seminar atau
diskusi. Seringkali mahasiswa yang tidak ingin mengikutinya dipaksakan untuk
hadir. Bahkan penulis pernah menemui peristiwa bahwa kehadiran mahasiswa bukan merupakan
sebuah faktor yang paling penting, yang paling penting adalah kehadiran biaya
pendaftaran yang dilakukannya. Hal itu bukan berarti penulis memiliki rasa
belas kasih terhadap mahasiswa yang tidak mampu. Akan tetapi penulis lebih
memiliki rasa belas kasih kepada pengelola acara tersebut karena pola pikir
mereka tidak lagi sejalan dengan perjuangan bangsa Indonesia.
Mereka
tidak lagi ingat bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia diperoleh atas dasar
cita-cita persamaan derajat, persaudaraan, dan tanpa adanya penindasan yang
dilakukan oleh penguasa. Jika pemaksaan itu dilakukan, bukankah disitu timbul
adanya pemaksaan kehendak dari salah satu pihak? Mengejar angka boleh saja
dilakukan, akan tetapi dengan cara yang wajar. Cara yang wajar itu dapat
diwujudkan melalui menyelenggarakan sebuah seminar yang mengundang pembicara
besar dan dapat menarik banyak peminat untuk hadir didalamnya. Pengunjung yang
hadir dalam jumlah besar tersebut dapat meminimalisir pemikiran pemaksaan agar
hadir dalam sebuah acara.
Penulis
juga pernah menemukan pungutan liar dalam perguruan tinggi atas nama
liberalisasi. Pungutan liar itu berbentuk biaya yang dikenakan dalam rangka
legalisir ijazah. Ijazah yang biasanya digunakan untuk mencari pekerjaan
dikenakan biaya dalam satu kali dan satu lembar legalisir. Padahal orang yang
melakukan legalisir ijazah biasanya adalah seseorang yang sedang mencari
pekerjaan. Penulis dalam hal ini juga tidak mengerti kemana aliran dana
pembuatan legalisir ijazah tersebut. Hal itu disebabkan karena perguruan tinggi
tidak akan berani transparan kepada pengguna layanan jasanya.
Hal
lucu, unik, menarik, dan aneh juga pernah penulis temukan dalam proses
administrasi lembar pertanggungjawaban (LPJ). Perguruan tinggi mewajibkan LPJ
untuk dinolkan dalam setiap laporannya. Padahal seringkali mahasiswa menyisakan
uang dalam sebuah kegiatan dan kemudian mengalihkannya untuk kegiatan lain.
Bukankah ini suatu bentuk ketidakjujuran mahasiswa dan perguruan tinggi? Ketika
itu seorang teman menanyakan mengapa hal itu terjadi? Pihak perguruan tinggi
menjawabnya dengan alasan karena apabila ada anggaran yang tersisa maka
anggaran akan dipotong untuk tahun depan.
Menurut
penulis, hal itu bukanlah suatu alasan apabila ditahun depan sebuah perguruan
tinggi mampu merancang keuangan dengan detail dan logis. Penulis juga
memberikan solusi agar LPJ dilaporkan dengan keadaan yang sesungguhnya. Akan
tetapi, setiap dana yang tersisa dan dialihkan juga kemudian dicantumkan. Hal
itu semua dilakukan untuk memotong virus dan bibit koruptor di kalangan mahasiswa.
Oleh sebab itu marilah kita kembali bertanya kepada diri kita mungkinkah kami
(karyawan dan pemangku kepentingan pendidikan perguruan tinggi) memuja angka?
Jawabannya ada pada diri kita.
Dunia
pendidikan Indonesia akan mengalami kemajuan yang pesat apabila kami sebagai
manusia intelektual menyadari cita-cita bangsa yang sesungguhnya dan kembali
belajar dari masa lalu. Berdasarkan sejarah, kaum muda intelektual Indonesia
adalah kaum yang ditakuti oleh penjajah karena tulisannya yang memiliki
analisis yang tajam. Kami yang mewarisi hal itu haruslah memaksimalkannya untuk
mencerdaskan bangsa dalam kesempatan kemerdekaan yang telah diberikan oleh
genarasi sebelum kami. Salah satu tokoh muda yang berasal dari generasi sebelum
kami, yaitu tan malaka pernah mengatakan bahwa bila kaum muda yang telah
belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu pintar untuk melebur dengan
masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang
sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.
Pernyataan
tersebut merupakan sebuah peringatan bagi kaum intelektual muda Indonesia untuk
terus mencerdaskan masyarakat yang tidak memiliki kemampuan dalam mengakses
pendidikan. Penulis membayangkan apabila budaya membaca dan berdebat melalui
tulisan dihidupkan kembali sebagaimana ketika Mohammad Hatta dan Sukarno
berdebat melalui tulisan. Maka, ketika itu juga banyak masyarakat miskin yang
mampu mengakses pemikiran kaum intelektual tanpa perlu menghabiskan dana pendidikan
yang mahal. Sekolah-sekolah murah muncul dimana-mana melalui koran dan
situs-situs yang bersifat informatif, bukan provokatif.
Sekolah
gratis tersebut dapat diakses oleh siapapun dan dimanapun. Sekolah gratis yang
terdapat di koran dan situs dunia maya haruslah diisi oleh kaum-kaum
intelektual. Intelektual inilah yang tidak hanya mencerdaskan bangsanya melalui
penelitian, akan tetapi mencerdaskan bangsanya melalui cinta kasih yang tulus
seperti halnya pejuang-pejuang muda yang telah gugur. Marilah kami untuk terus
bercermin melalui sejarah bangsa dan terus berkarya demi kemajuan pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar