Persatuan
dan kesatuan adalah kata perekat yang sangat kuat bagi bangsa Indonesia. Kata
tersebut dibentuk bukan atas dasar kesamaan agama, suku, atau pun ras tertentu.
Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia terbentuk melalui kesamaan tujuan.
Kesamaan tujuan tersebut adalah kesamaan derajat, kesamaan keadilan, dan
kesamaan cita-cita. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari pepatah berdiri sama
tinggi, duduk sama rendah.
Berdasarkan
catatan sejarah, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dimulai sejak
berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Akan tetapi persatuan dan kesatuan pada
saat itu diwujudkan melalui kecintaan pemuda Indonesia pada budaya jawa dan berusaha
memperjuangkan masyarakatnya yang sulit mengakses pendidikan.[1]
Embrio ini melahirkan rasa persatuan dan kesatuan yang diikat berdasarkan suku
tertentu. Tahun-tahun selanjutnya, tepatnya pada tahun 1912 berdirilah sebuah
organisasi dengan latar belakang ekonomi-islam.
Organisasi
tersebut bernama Sarekat Islam. Anggota Sarekat Islam adalah seluruh masyarakat
Hindia Belanda yang beragama Islam.[2]
Syarat tersebut menunjukkan bahwa persatuan dan kesatuan yang berlatarbelakang
suku telah berkembang menjadi sebuah persatuan dan kesatuan berdasarkan agama.
Organisasi ini memiliki massa yang sangat besar di zamannya dan organisasi ini
memiliki beberapa anggota yang berlatarbelakang ideologi komunis, meskipun
mereka beragama Islam. Salah satu diantaranya adalah Haji Misbach.
Sarekat
Islam yang besar kemudian memiliki teman perjuangan yang baru, yaitu Indische
Partij. Indische Partij didirikan oleh tiga serangkai, yaitu Suwardi
Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Cipto Mangunkusumo. Menariknya dalam
organisasi ini adalah adanya seorang Indo[3]
yang memiliki semangat kemerdekaan yang sama dengan bangsa Indonesia. Douwes
Dekker yang juga disebut oleh Sukarno sebagai bapak nasionalisme Indonesia
memiliki perasaan yang sama dengan bangsa Indonesia, akibat dari penjajahan
yang dilakukan oleh bangsa garis keturunan ayahnya. Bangsa Belanda yang datang
bergelombang dan membanjiri Hindia Belanda, tidak hanya membuat bangsa
Indonesia terpinggirkan, akan tetapi kaum indo memiliki nasib yang lebih buruk
dari bangsa Indonesia.
Penulis
dalam hal ini mengkategorikan kelompok Indo ke dalam kasta keempat dalam sistem
pemerintahan Hindia Belanda, setelah eropa, timur asing, dan pribumi.
Pemerintah Hindia Belanda melakukan hal itu karena posisi lapangan pekerjaan
kaum Indo diisi oleh bangsa Belanda totok[4]
yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Pemerintah Hindia Belanda juga lebih
senang menggunakan jasa bangsa Indonesia karena memiliki tingkat upah yang
lebih murah dibandingkan dengan kaum Indo.
Kaum
ini kemudian membentuk sebuah badan persatuan yaitu Indische Bond yang kemudian
terbelah menjadi dua.[5]
Pecahannya adalah Indische European Verbond (IEV) dan Indische Partij (IP). IEV
dalam hal ini mewakili kaum kaya raya masyarakat Indo yang berusaha mengukuhkan
pondasi penjajahan, sedangkan IP mewakili kaum menengah ke bawah masyarakat
Indo yang berusaha memerdekakan Hindia Belanda bersama dengan bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, Indische Partij memiliki semboyan Indie Voor Indiers (Hindia untuk orang Hindia). Organisasi ini
dapat dikategorikan organisasi terlarang oleh pemerintah Hindia Belanda.
Tulisan-tulisan anggota IP terbilang sangat kritis dan tajam dalam setiap
analisanya. Salah satu tulisan yang terkenal adalah andai aku seorang belanda.
Tulisan
itu mengkritik pemerintah Hindia Belanda yang merayakan hari ulang tahun ratu
Wilhelmina di setiap tanggal 31 Agustus. Untuk merayakan hari itu, pemerintah
Hindia Belanda memungut pajak dari bangsa Indonesia. Hal itu dikritik oleh
Suwardi Suryaningrat dengan cara menganalogikan dirinya sebagai seorang Belanda
yang mengadakan sebuah pesta ditanah jajahan dan dengan uang dari bangsa yang
dijajah. Suwardi mengatakan bahwa jika aku seorang belanda maka aku tidak akan
merayakannya disebuah negara, dimana negara itu tidak diberikan kemerdekaannya
oleh bangsaku sendiri.[6] Akibat
dari tulisan-tulisan yang radikal, ketiga tokoh IP ditangkap dan menjalani masa
pembuangan di Belanda. Disisi lain, teman perjuangannya yaitu Sarekat Islam
sedang mengalami kekacauan di dalam tubuh organisasinya akibat adanya dualisme
keanggotaan.
Salah
satu tokoh IP di Belanda bertemu dengan organisasi yang mendukung kemerdekaan
Indonesia, yaitu Perhimpunan Indonesia. Tokoh tersebut dan Perhimpunan
Indonesia seringkali mengadakan pertemuan untuk mempropagandakan kemerdekaan
Indonesia. Dalam setiap pertemuan, tokoh IP menyerukan bahwa bangsa Indonesia
dalam hal ini (kemerdekaan) akan bekerjasama dengan keturunan bangsa arab,
tionghoa, dan eropa yang mengakui bahwa Indonesia sebagai tumpah darahnya.[7] Kalimat
ini menggambarkan kepada kita bahwa kemerdekaan Indonesia diraih oleh seluruh
suku, bangsa, ras, dan, agama yang mencintai Indonesia sebagai sebuah rumah dan
ladang mencari penghidupan. Kemerdekaan yang diraih bukan hanya oleh suku jawa,
agama Islam, dan ras melayu. Akan tetapi kita yang beraneka rupa, beraneka
warna, beraneka agama, beraneka bangsa yang sama-sama mencintai Indonesia.
Tokoh
IP tersebut kemudian dipulangkan akibat kondisi kesehatannya yang semakin
menurun. Sarekat Islam dan IP pada masa ini mengalami kemunduran yang hebat. Organisasi
penerus ikatan persatuan dan kesatuan adalah Partai Nasional Indonesia dan
Perhimpunan Indonesia yang bergerak di eropa. Ketua PNI adalah Sukarno yang
merupakan murid dari H. O. S. Tjokroaminoto dan belajar dari semangat Douwes
Dekker. Sukarno yang dikenal pandai berpidato dapat mengobarkan semangat rakyat
untuk memperoleh kemerdekaan bangsa Indonesia. Sukarno dalam bukunya di bawah
bendera revolusi jilid I mengatakan bahwa Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme
memiliki musuh yang sama yaitu kapitalisme-imperialisme yang merupakan lintah
bagi bangsa Indonesia.[8]
Oleh sebab itu, persatuan dan kesatuan dibutuhkan untuk mengalahkan kekuatan
tersebut.
Sukarno
yang dianggap berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda terpaksa menjalani interneering[9]
(Pembuangan di dalam negeri Hindia Belanda). Persatuan dan kesatuan Indonesia
kemudian diteruskan oleh kaum kooperatif yang bergerak dalam volksraad dan
mengadakan perjuangan politik bersama melalui PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan
Politik Kebangsaan Indonesia), GAPI (Gabungan Politik Indonesia), dan MIAI
(Majelis Islam A’la Indonesia). PPPKI berjalan dalam hajatan-hajatan besar
politik di Indonesia. Hal itu disebabkan karena adanya pertarungan politik di
dalam tubuh PPPKI.
GAPI
yang beranggotakan Partai Islam Indonesia, Partai Sarekat Islam Indonesia, Pagujuban
Pasundan, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Persatuan Minahasa, Persatuan
Partai Katolik Indonesia, Partai Indonesia Raja (Parindra). Melalui keanggotaan
itu dapat kita lihat bahwa Islam, Kristen, dan Nasionalis yang dicap sekuler[10]
dapat bersatu melawan penindasan demi kemanusiaan yang ada. Hal itu membuktikan
bahwa mereka paham setiap ajaran yang dianutnya bahwa agama Islam mengajarkan
kedamaian, Kristen mengajarkan cinta kasih, dan kaum nasionalis mengajarkan
semangat kebangsaan.
Perjuangan
mereka tidak berdasarkan agama sebagai alat pemersatu politik, akan tetapi
perjuangan mereka berlandaskan agama yang berasal dari hati yang bersih dan
tidak buta. Perjuangan GAPI diperkuat dengan bergabungnya MIAI dalam Majelis
Rakyat Indonesia untuk menandingi volksraad. Perjuangan tersebut berubah total
ketika bangsa jepang menguasai Hindia Belanda.
Tidakkah
kita paham sebagai anak bangsa bahwa negara ini didirikan atas semangat
kemanusiaan sebagai pemersatunya dan menjadikan alat pemersatu itu sebagai
sebuah semangat dalam mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan dunia dan
akhirat? Masihkah kita menyalahkan satu sama lain soal kulit, agama, ras, dan
perbedaan lainnya? Tidakkah kita berpikir bahwa para pahlawan kita menjadikan
sebuah perbedaan latarbelakang itu menjadi sebuah senjata yang mengerikan bagi
musuh? Akankah kita sebagai penerusnya tidak mengambil semangat itu? Atau kita
menggunakan rasa kelebihan diri suatu golongan untuk memusnahkan golongan
lainnya? Atau nasionalisme kita telah mundur sebagaimana yang telah dijelaskan
diatas, mundur ke arah semangat keagamaan yang kemudian akan mundur lagi ke
arah kesukuan? Semoga saja tidak, dan penulis sebagai seorang sejarawan akan
terus berusaha mengingatkan bahwa bangsa yang besar ini dibangun atas warna merah
(berani berbicara benar) dan putih (suci pikiran dan perbuatan) yang tidak
digunakan untuk membunuh sesama anak bangsa tetapi digunakan untuk membunuh
musuh bangsa. Siapa musuh bangsa kita dewasa ini?
Musuh
bangsa kita dewasa ini yang sebenarnya adalah diri kita sendiri (individu
masing-masing) yang memiliki sifat serakah yang berujung kepada tindakan
koruptif dan sifat bahwa akulah yang paling benar. Tindakan serakah itulah yang
membinasakan rasa kemanusiaan, karena dengan keserakahan, kesengsaraan kepada
masyarakat kecil akan meningkat dan hanya segelintir orang yang tidak punya
malu yang menikmati uang orang kecil itu sekarang menjadi kaya. Karena dunia
ini semakin gelap dan kita memiliki rasa yang semakin membuatnya gelap, yaitu
“keakuan” yang besar.
Kita
bahkan tidak akan pernah tahu aku siapa yang paling benar, akan tetapi kita
terus merasa yang paling benar. Sehingga kita lupa untuk menghargai lawan
bicara, yang sekaligus dia adalah teman yang memberikan informasi kepada kita
dengan sudut pandang yang berbeda. Perbedaan sudut pandang itu akan membuat
kita sebagai pribadi yang memiliki banyak wawasan dan tidak hanya membenarkan
pernyataan kita. Ketika kita menghargai lawan bicara disitulah ilmu baru akan
kita dapatkan. Bukan berarti kalah berdebat, karena perdebatan bukanlah ajang
menunjukkan keakuan seseorang. Akan tetapi melalui debat kita dapat menambah
strategi baru untuk mewujudkan tujuan bersama, yaitu kesejahteraan bangsa
Indonesia.
[1] M. C. Ricklef.
2011. Sejarah Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gajahmada Univ. Press. hlm. 249-250.
[2] A. K. Pringgodigdo.
1986. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.
Jakarta: Dian Rakyat. hlm. 5.
[3] Sebagai sebutan keturunan
campuran. Konsep ini jelas bermuatan diskriminasi dan menyiratkan adanya wacana
tentang warna kulit sebagai garis pemisah dalam masyarakat kolonial. Dalam Pradipto
Niwandhono. 2011. Yang ter(di)lupakan.
Djaman baroe. hlm.47.
[4] Totok adalah
berdarah murni. Dalam Blackburn, Susan. (2012). “Jakarta: A History”. a. b.
Gatot Triwira. Jakarta: Sejarah 400 Tahun.
Jakarta: Komunitas Bambu. hlm. 160.
[5] Op. cit. hlm. 108-109.
[6] C. L. M.
Penders. 1977. Selected Documents on
Colonialisme and Nationalism. Australia: Queensland Press. hlm. 233.
[7] Elson, R. E.
2008. The Idea of Indonesia. Inggris:
Cambridge University. hlm. 50.
[8] Sukarno. 1959. Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Jakarta:
Panitia Penerbit. hlm. 23.
[9] Pasal 37 dalam J.
Riphagen. 1927. Atoeran Pemerintahan
Hindia Belanda. Weltevreden: Balai Poestaka. hlm. 44-45.
[10] Machiavelli,
Niccolo. 2014. Sang Pangeran. Jakarta:
Gramedia. hlm. 29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar