Minggu, 15 Januari 2017

NASIONALISME KITA TELAH MUNDUR?

Persatuan dan kesatuan adalah kata perekat yang sangat kuat bagi bangsa Indonesia. Kata tersebut dibentuk bukan atas dasar kesamaan agama, suku, atau pun ras tertentu. Persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia terbentuk melalui kesamaan tujuan. Kesamaan tujuan tersebut adalah kesamaan derajat, kesamaan keadilan, dan kesamaan cita-cita. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari pepatah berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.

Berdasarkan catatan sejarah, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dimulai sejak berdirinya Budi Utomo pada tahun 1908. Akan tetapi persatuan dan kesatuan pada saat itu diwujudkan melalui kecintaan pemuda Indonesia pada budaya jawa dan berusaha memperjuangkan masyarakatnya yang sulit mengakses pendidikan.[1] Embrio ini melahirkan rasa persatuan dan kesatuan yang diikat berdasarkan suku tertentu. Tahun-tahun selanjutnya, tepatnya pada tahun 1912 berdirilah sebuah organisasi dengan latar belakang ekonomi-islam.
Organisasi tersebut bernama Sarekat Islam. Anggota Sarekat Islam adalah seluruh masyarakat Hindia Belanda yang beragama Islam.[2] Syarat tersebut menunjukkan bahwa persatuan dan kesatuan yang berlatarbelakang suku telah berkembang menjadi sebuah persatuan dan kesatuan berdasarkan agama. Organisasi ini memiliki massa yang sangat besar di zamannya dan organisasi ini memiliki beberapa anggota yang berlatarbelakang ideologi komunis, meskipun mereka beragama Islam. Salah satu diantaranya adalah Haji Misbach.
Sarekat Islam yang besar kemudian memiliki teman perjuangan yang baru, yaitu Indische Partij. Indische Partij didirikan oleh tiga serangkai, yaitu Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Cipto Mangunkusumo. Menariknya dalam organisasi ini adalah adanya seorang Indo[3] yang memiliki semangat kemerdekaan yang sama dengan bangsa Indonesia. Douwes Dekker yang juga disebut oleh Sukarno sebagai bapak nasionalisme Indonesia memiliki perasaan yang sama dengan bangsa Indonesia, akibat dari penjajahan yang dilakukan oleh bangsa garis keturunan ayahnya. Bangsa Belanda yang datang bergelombang dan membanjiri Hindia Belanda, tidak hanya membuat bangsa Indonesia terpinggirkan, akan tetapi kaum indo memiliki nasib yang lebih buruk dari bangsa Indonesia.
Penulis dalam hal ini mengkategorikan kelompok Indo ke dalam kasta keempat dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda, setelah eropa, timur asing, dan pribumi. Pemerintah Hindia Belanda melakukan hal itu karena posisi lapangan pekerjaan kaum Indo diisi oleh bangsa Belanda totok[4] yang memiliki pendidikan lebih tinggi. Pemerintah Hindia Belanda juga lebih senang menggunakan jasa bangsa Indonesia karena memiliki tingkat upah yang lebih murah dibandingkan dengan kaum Indo.
Kaum ini kemudian membentuk sebuah badan persatuan yaitu Indische Bond yang kemudian terbelah menjadi dua.[5] Pecahannya adalah Indische European Verbond (IEV) dan Indische Partij (IP). IEV dalam hal ini mewakili kaum kaya raya masyarakat Indo yang berusaha mengukuhkan pondasi penjajahan, sedangkan IP mewakili kaum menengah ke bawah masyarakat Indo yang berusaha memerdekakan Hindia Belanda bersama dengan bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, Indische Partij memiliki semboyan Indie Voor Indiers (Hindia untuk orang Hindia). Organisasi ini dapat dikategorikan organisasi terlarang oleh pemerintah Hindia Belanda. Tulisan-tulisan anggota IP terbilang sangat kritis dan tajam dalam setiap analisanya. Salah satu tulisan yang terkenal adalah andai aku seorang belanda.
Tulisan itu mengkritik pemerintah Hindia Belanda yang merayakan hari ulang tahun ratu Wilhelmina di setiap tanggal 31 Agustus. Untuk merayakan hari itu, pemerintah Hindia Belanda memungut pajak dari bangsa Indonesia. Hal itu dikritik oleh Suwardi Suryaningrat dengan cara menganalogikan dirinya sebagai seorang Belanda yang mengadakan sebuah pesta ditanah jajahan dan dengan uang dari bangsa yang dijajah. Suwardi mengatakan bahwa jika aku seorang belanda maka aku tidak akan merayakannya disebuah negara, dimana negara itu tidak diberikan kemerdekaannya oleh bangsaku sendiri.[6] Akibat dari tulisan-tulisan yang radikal, ketiga tokoh IP ditangkap dan menjalani masa pembuangan di Belanda. Disisi lain, teman perjuangannya yaitu Sarekat Islam sedang mengalami kekacauan di dalam tubuh organisasinya akibat adanya dualisme keanggotaan.
Salah satu tokoh IP di Belanda bertemu dengan organisasi yang mendukung kemerdekaan Indonesia, yaitu Perhimpunan Indonesia. Tokoh tersebut dan Perhimpunan Indonesia seringkali mengadakan pertemuan untuk mempropagandakan kemerdekaan Indonesia. Dalam setiap pertemuan, tokoh IP menyerukan bahwa bangsa Indonesia dalam hal ini (kemerdekaan) akan bekerjasama dengan keturunan bangsa arab, tionghoa, dan eropa yang mengakui bahwa Indonesia sebagai tumpah darahnya.[7] Kalimat ini menggambarkan kepada kita bahwa kemerdekaan Indonesia diraih oleh seluruh suku, bangsa, ras, dan, agama yang mencintai Indonesia sebagai sebuah rumah dan ladang mencari penghidupan. Kemerdekaan yang diraih bukan hanya oleh suku jawa, agama Islam, dan ras melayu. Akan tetapi kita yang beraneka rupa, beraneka warna, beraneka agama, beraneka bangsa yang sama-sama mencintai Indonesia.
Tokoh IP tersebut kemudian dipulangkan akibat kondisi kesehatannya yang semakin menurun. Sarekat Islam dan IP pada masa ini mengalami kemunduran yang hebat. Organisasi penerus ikatan persatuan dan kesatuan adalah Partai Nasional Indonesia dan Perhimpunan Indonesia yang bergerak di eropa. Ketua PNI adalah Sukarno yang merupakan murid dari H. O. S. Tjokroaminoto dan belajar dari semangat Douwes Dekker. Sukarno yang dikenal pandai berpidato dapat mengobarkan semangat rakyat untuk memperoleh kemerdekaan bangsa Indonesia. Sukarno dalam bukunya di bawah bendera revolusi jilid I mengatakan bahwa Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme memiliki musuh yang sama yaitu kapitalisme-imperialisme yang merupakan lintah bagi bangsa Indonesia.[8] Oleh sebab itu, persatuan dan kesatuan dibutuhkan untuk mengalahkan kekuatan tersebut.  
Sukarno yang dianggap berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda terpaksa menjalani interneering[9] (Pembuangan di dalam negeri Hindia Belanda). Persatuan dan kesatuan Indonesia kemudian diteruskan oleh kaum kooperatif yang bergerak dalam volksraad dan mengadakan perjuangan politik bersama melalui PPPKI (Pemufakatan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia), GAPI (Gabungan Politik Indonesia), dan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). PPPKI berjalan dalam hajatan-hajatan besar politik di Indonesia. Hal itu disebabkan karena adanya pertarungan politik di dalam tubuh PPPKI.
GAPI yang beranggotakan Partai Islam Indonesia, Partai Sarekat Islam Indonesia, Pagujuban Pasundan, Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Persatuan Minahasa, Persatuan Partai Katolik Indonesia, Partai Indonesia Raja (Parindra). Melalui keanggotaan itu dapat kita lihat bahwa Islam, Kristen, dan Nasionalis yang dicap sekuler[10] dapat bersatu melawan penindasan demi kemanusiaan yang ada. Hal itu membuktikan bahwa mereka paham setiap ajaran yang dianutnya bahwa agama Islam mengajarkan kedamaian, Kristen mengajarkan cinta kasih, dan kaum nasionalis mengajarkan semangat kebangsaan.
Perjuangan mereka tidak berdasarkan agama sebagai alat pemersatu politik, akan tetapi perjuangan mereka berlandaskan agama yang berasal dari hati yang bersih dan tidak buta. Perjuangan GAPI diperkuat dengan bergabungnya MIAI dalam Majelis Rakyat Indonesia untuk menandingi volksraad. Perjuangan tersebut berubah total ketika bangsa jepang menguasai Hindia Belanda.
Tidakkah kita paham sebagai anak bangsa bahwa negara ini didirikan atas semangat kemanusiaan sebagai pemersatunya dan menjadikan alat pemersatu itu sebagai sebuah semangat dalam mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan dunia dan akhirat? Masihkah kita menyalahkan satu sama lain soal kulit, agama, ras, dan perbedaan lainnya? Tidakkah kita berpikir bahwa para pahlawan kita menjadikan sebuah perbedaan latarbelakang itu menjadi sebuah senjata yang mengerikan bagi musuh? Akankah kita sebagai penerusnya tidak mengambil semangat itu? Atau kita menggunakan rasa kelebihan diri suatu golongan untuk memusnahkan golongan lainnya? Atau nasionalisme kita telah mundur sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, mundur ke arah semangat keagamaan yang kemudian akan mundur lagi ke arah kesukuan? Semoga saja tidak, dan penulis sebagai seorang sejarawan akan terus berusaha mengingatkan bahwa bangsa yang besar ini dibangun atas warna merah (berani berbicara benar) dan putih (suci pikiran dan perbuatan) yang tidak digunakan untuk membunuh sesama anak bangsa tetapi digunakan untuk membunuh musuh bangsa. Siapa musuh bangsa kita dewasa ini?
Musuh bangsa kita dewasa ini yang sebenarnya adalah diri kita sendiri (individu masing-masing) yang memiliki sifat serakah yang berujung kepada tindakan koruptif dan sifat bahwa akulah yang paling benar. Tindakan serakah itulah yang membinasakan rasa kemanusiaan, karena dengan keserakahan, kesengsaraan kepada masyarakat kecil akan meningkat dan hanya segelintir orang yang tidak punya malu yang menikmati uang orang kecil itu sekarang menjadi kaya. Karena dunia ini semakin gelap dan kita memiliki rasa yang semakin membuatnya gelap, yaitu “keakuan” yang besar.
Kita bahkan tidak akan pernah tahu aku siapa yang paling benar, akan tetapi kita terus merasa yang paling benar. Sehingga kita lupa untuk menghargai lawan bicara, yang sekaligus dia adalah teman yang memberikan informasi kepada kita dengan sudut pandang yang berbeda. Perbedaan sudut pandang itu akan membuat kita sebagai pribadi yang memiliki banyak wawasan dan tidak hanya membenarkan pernyataan kita. Ketika kita menghargai lawan bicara disitulah ilmu baru akan kita dapatkan. Bukan berarti kalah berdebat, karena perdebatan bukanlah ajang menunjukkan keakuan seseorang. Akan tetapi melalui debat kita dapat menambah strategi baru untuk mewujudkan tujuan bersama, yaitu kesejahteraan bangsa Indonesia.



[1] M. C. Ricklef. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gajahmada Univ. Press. hlm. 249-250.
[2] A. K. Pringgodigdo. 1986. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat. hlm. 5.
[3] Sebagai sebutan keturunan campuran. Konsep ini jelas bermuatan diskriminasi dan menyiratkan adanya wacana tentang warna kulit sebagai garis pemisah dalam masyarakat kolonial. Dalam Pradipto Niwandhono. 2011. Yang ter(di)lupakan. Djaman baroe. hlm.47.
[4] Totok adalah berdarah murni. Dalam Blackburn, Susan. (2012). “Jakarta: A History”. a. b. Gatot Triwira. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Komunitas Bambu. hlm. 160.
[5] Op. cit. hlm. 108-109.
[6] C. L. M. Penders. 1977. Selected Documents on Colonialisme and Nationalism. Australia: Queensland Press. hlm. 233.
[7] Elson, R. E. 2008. The Idea of Indonesia. Inggris: Cambridge University. hlm. 50.
[8] Sukarno. 1959. Dibawah Bendera Revolusi Jilid I. Jakarta: Panitia Penerbit. hlm. 23.
[9] Pasal 37 dalam J. Riphagen. 1927. Atoeran Pemerintahan Hindia Belanda. Weltevreden: Balai Poestaka. hlm. 44-45.
[10] Machiavelli, Niccolo. 2014. Sang Pangeran. Jakarta: Gramedia. hlm. 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar