Rabu, 21 Desember 2016

Kontroversi Ujian Nasional

Ujian Nasional yang dewasa ini ramai dibicarakan oleh masyarakat maupun akademisi merupakan sebuah hal yang sangat ditakutkan oleh pelajar di Indonesia. Penulis dalam hal ini mencoba untuk memberikan pandangannya terkait permasalahan yang kembali ramai dibicarakan. Hal ini kembali ramai dibicarakan akibat adanya ide yang dilontarkan oleh menteri pendidikan dan kebudayaan yaitu Muhajjir Effendi.

Menteri Muhajjir melontarkan pernyataannya dengan mengatakan bahwa Ujian Nasional tidak efektif dan menghabiskan banyak anggaran. Hal itu kemudian dibahas di dalam rapat kabinet. Usul tersebut kemudian mendapatkan penolakan oleh wakil presiden Jusuf Kalla dengan mengatakan bahwa penghapusan UN perlu dikaji lebih mendalam.[1] Kalimat tersebut juga didukung oleh komisi X DPR dengan mengucapkan pernyataan dukungan kepada wakil presiden Jusuf Kalla.[2]
Penulis dalam hal ini berusaha mengkaji apa fungsi dan guna UN bagi seluruh elemen pengguna maupun pelaksana pendidikan. Penulis berusaha menyampaikan pandangannya terkait permasalahan di lapangan dan sebuah cita-cita ideal bagi terselenggaranya UN yang baik. UN sejatinya merupakan suatu alat yang berfungsi untuk mengevaluasi beberapa mata pelajaran yang dianggap penting oleh pemerintah. Pelaksanaan UN dari tahun ke tahun memang memiliki berbagai perbedaan. Penulis menjalani UN terakhir kali pada tahun 2011 yang pada saat itu kementerian pendidikan dan kebudayaan dipimpin oleh M. Nuh.
UN pada tahun itu, memiliki persyaratan kelulusan dengan nilai batas kelulusan 4,25 dari masing-masing mata pelajaran. Selain itu, nilai UN hanya diambil 60% sebagai indicator kelulusan, 40% lainnya adalah Ujian Sekolah.[3] UN pada tahun ini, pemerintah membuat 5 buah tipe soal dengan tujuan agar siswa tidak dapat mencontek satu sama lain. Meskipun demikian, pada saat itu siswa sekolah kami mendapatkan kunci jawaban dari seseorang dan kami tidak mengetahuinya siapakah orang itu. Akan tetapi, kami menggunakan kunci jawaban itu ketika ujian berlangsung dan hasilnya banyak diantara kami mendapatkan nilai yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Penulis ketika memasuki dunia perkuliahan menyoroti perubahan kurikulum 2013 yang sangat mendadak diakhir masa jabatan M. Nuh. Kurikulum 2013 pada saat itu banyak mendapatkan kritikan akibat kebijakan yang sangat mendadak dan penghabisan dana yang dilakukan oleh kementerian. Banyak peneliti yang menyoroti terkait kebijakan pembuatan buku yang hanya boleh dilakukan oleh pemerintah pusat. kebijakan itu dianggap sebagai sebuah kebijakan bisnis atau proyek kementerian.
Kurikulum 2013 terlihat ketidaksiapannya dalam pelaksanaan ketika banyak sekolah yang bingung bagaimana cara menerapkan kurikulum baru tersebut. Tahun 2014, peneliti ketika itu sedang melaksanakan Praktek Pengalaman Lapangan. Peneliti pada saat itu tidak menemukan sama sekali buku sejarah peminatan. Beberapa guru yang penulis tanyakan menjawab bahwa buku tersebut belum dicetak oleh pemerintah pusat. Hal aneh kembali penulis temukan ketika buku sejarah peminatan dicetak oleh penerbit-penerbit swasta.
Kebijakan kurikulum 2013 yang dicetuskan oleh M. Nuh kemudian diteruskan oleh menteri Anies Baswedan. Anies Baswedan mengeluarkan beberapa kebijakan yang sedikit bersifat mengevaluasi pelaksanaan kurikulum 2013. Salah satu kebijakan yang dikeluarkannya adalah pemberlakuan kurikulum 2013 secara bertahap dan disertai evaluasi di setiap tahunnya. Untuk UN, Anies Baswedan mengeluarkan kebijakan yang dapat dibilang memiliki kemajuan yang signifikan. Anies memberlakukan UN melalui perangkat komputer sehingga siswa tidak menghabiskan waktu untuk melingkari, waktu tersebut dapat digunakan untuk berpikir. Akan tetapi kebijakan ini kembali mendapatkan kritik dari berbagai pihak. Kritik yang paling tajam adalah permasalahan perbedaan persebaran teknologi yang dimiliki oleh sekolah.
Menurut penulis, kebijakan tersebut merupakan sebuah kemajuan dalam penerapan teknologi di bidang pendidikan. Bukan berarti kebijakan tersebut harus digagalkan, akan tetapi harus didukung dengan cara membantu pemerataan persebaran tekonologi pendidikan. Anies pada saat itu juga mengeluarkan kebijakan agar porsi kelulusan ditentukan oleh sekolah sebesar 60% dan UN 40%.[4] Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah sudah mulai percaya kepada kualitas pendidikan di masing-masing daerah.
Akan tetapi kebijakan kelulusan yang sudah mulai dipercayakan kepada daerah kembali dijadikan bahan kajian melalui pernyataan menteri pendidikan yang baru yaitu Muhajjir Effendi yang diangkat setelah libur lebaran tahun 2016. Menteri Muhajjir Effendi pada akhir November 2016 melontarkan pernyataan bahwa UN menghabiskan banyak dana dan akan lebih baik dihapuskan serta dana tersebut dapat dialihkan. Menteri Muhajjir juga mengatakan bahwa latar belakang dihapuskannya UN adalah masih banyaknya sekolah yang belum terstandar nasional sehingga perlu melakukan treatment.[5] Kalimat tersebut mendapatkan respon dari berbagai pihak terutama wakil presiden dan komisi X DPR, sebagaimana yang telah penulis jelaskan diatas.
Menurut penulis, konsep yang disampaikan oleh menteri melalui cara USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional) merupakan sebuah ujian nasional, namun sekolah diberikan porsi yang lebih besar.[6] Sehingga menurut penulis, menteri Muhajjir belum melakukan kajian yang mendalam terkait UN. Menurut penulis, UN yang dijalankan selama ini hanya menuntut siswa untuk dapat lulus dari nilai batas yang ditentukan. Pemikiran fungsi UN tersebut dapat menyebabkan siswa dan sekolah menghalalkan berbagai cara untuk dapat lulus dan menyelamatkan status atau pandangan masyarakat terhadap sekolah. Penulis berpikiran bahwa pemikiran tersebut harus diubah dengan cara yaitu pertama, meningkatkan porsi kelulusan dengan presentase 75% sekolah dan 25% UN, kedua, tingkatkan kualitas guru dan sebarkan secara merata, ketiga, tingkatkan sarana dan prasarana pendidikan untuk menunjang kemajuan peserta didik.
Menurut penulis, poin pertama sangat diperlukan bagi dunia pendidikan Indonesia. Hal itu disebabkan karena dengan memberikan porsi yang lebih besar kepada sekolah diharapkan sekolah mampu melaksanakan prinsip kejujuran yang kelak dapat dicontoh oleh siswa dikemudian hari. Guru dalam hal ini juga berperan menentukan kelulusan seorang siswa karena gurulah yang paling mengerti tingkah laku siswa sehari-hari. Pernyataan tersebut menekankan bahwa siswa yang diluluskan haruslah memiliki sikap yang sesuai dengan pancasila dan UUD 1945. Sehingga masyarakat Indonesia dapat memiliki kognitif, afektif, dan psikomotorik yang sehat.
Poin kedua, pemerintah harus memberikan instruksi kepada perguruan tinggi agar menyeleksi calon guru dengan ketat seperti halnya menyeleksi calon pegawai Sekolah Tinggi Administrasi Negara dan dokter. Hal itu diperlukan karena apabila status guru disamakan dengan pegawai STAN dan seorang dokter maka orang-orang berkualitaslah yang akan mendaftarkan diri sebagai calon guru. Apabila telah diterima, calon guru tersebut dididik dengan keras agar berkualitas dan diikat kontrak penempatan kerja di daerah-daerah terpencil demi terciptanya pendidikan yang merata. Sehingga perguruan tinggi tidak hanya menerima mahasiswa dengan kuota yang banyak akan tetapi minim kualitas dan seakan menjadi sebuah lembaga negara yang bergerak di sektor privat yang bergerak mencari laba.
Poin ketiga, peningkatan sarana dan prasaran sangat dibutuhkan oleh sekolah yang berada di luar pulau jawa. Guru yang cerdas dan berkualitas tentu akan kesulitan apabila mereka kesulitan dalam mengakses dan memberikan sumber belajar. Terciptanya pemerataan sarana dan prasaran pendidikan juga dapat mendukung rasa ingin tahu siswa terhadap sesuatu yang baru dijumpai olehnya. Sehingga semangat belajar mereka akan lebih terpacu.
Penulis menekankan bahwa UN merupakan evaluasi belajar yang berguna bagi guru dan siswa serta seluruh pengemban kebijakan pendidikan. Akan tetapi UN bukan merupakan beban bagi salah satu pihak terutama siswa. UN merupakan sebuah cerminan dari terselenggaranya suatu pendidikan di sebuah daerah. Apabila daerah tersebut mengalami pendidikan yang tidak mencapai patokan nasional, maka pemerintah bertugas untuk memperbaikinya. Pemerintah dapat membantu sekolah tersebut dengan cara mengirimkan tenaga pengajar yang berkualitas serta meningkatkan sarana dan prasaran sekolah sehingga sekolah tersebut dapat mencapai standar yang ditentukan secara nasional.
DOWNLOAD



[2] http://www.wartabahasa.com/2016/11/komisi-x-dpr-ri-belum-setuju-un.html. warta bahasa. kompas. 17 Desember 2016 pukul 05.59.
[3] Glori K. Widianto. http://edukasi.kompas.com/read/2011/01/04/1303567/Ujian.Nasional.18.21.April.2011. kompas. kompas. 17 Desember 2016 pukul 06.00.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar