Sejak
awal masuk dunia kampus, saya berjanji kepada diri saya untuk tidak ikut dalam
organisasi yang berafiliasi dengan partai politik. Godaan banyak ditawarkan
oleh beberapa kawan baik itu dari organisasi yang berafiliasi dengan partai
nasionalis dan partai agamis. Tetapi saya yang keras kepala terus menolaknya
dengan halus.
Saya
yang berdiri sendiri tanpa dukungan organisasi yang berafiliasi dengan partai
politik berusaha berkontribusi melalui pikiran saya dengan masuk ke dalam
beberapa organisasi resmi di kampus. Organisasi pertama yang saya masuki adalah
Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah. Organisasi ini memiliki banyak anggota
dari yang malas, rajin, semangat, lucu, serius, dan memiliki ikatan kuat dalam
arti sebuah kata yaitu keluarga. Tentu dalam sebuah organisasi memiliki banyak
sudut pandang di dalamnya dari sudut pandang golongan islam, nasionalis, dan
sosialis.
Perbedaan
itu dikemas sedemikian rupa dengan konflik pemikiran dan pembelajaran dewasa
yang dimiliki dalam budaya organisasi ini. Sehingga, setiap perbedaan yang ada
tidak membuat organisasi ini tercerai berai. Saya rasa organisasi inilah yang
membuat saya mengenal arti kata kakak, mas, mbak, dan adik. Semua itu bukan
sebuah kata-kata formalitas dari organisasi ini tapi anggota dari organisasi
itu menerapkannya dalam kehidupan keluarga hingga kini.
Tahun
selanjutnya, saya melanjutkan kehidupan organisasi saya dalam organisasi Dewan
Perwakilan Mahasiswa Fakultas. Saya meninggalkan HMPS bukan berarti saya lalu melupakannya,
saya hanya ingin merasakan dan mencari tahu apa tugas dan fungsi dewan di
kalangan mahasiswa. DPMF memiliki beberapa anggota sehingga saya bisa
menyebutkannya disini. Mereka adalah Iskandar, septian, yekti, tisya, uswah,
vifel, prima, sugi, giva, fitria, nia, sodiah, soliqin, dan Irma. Saya
tergabung dalam komisi III yang membidangi advokasi mahasiswa, tapi dalam
praktiknya saya lebih fokus terhadap legislasi. Mungkin cara berpikir saya yang
membuat saya lebih memfokuskan diri dibidang itu.
Organisasi
ini dijalankan oleh kami dengan susah payah, karena jumlah kami sangat sedikit.
Sehingga tidak jarang kami merangkap jabatan dalam sebuah penyelenggaraan
acara. Organisasi ini juga tidak
terlepas dari konflik, konflik yang kami hadapi adalah konflik internal.
Konflik itu yang saya rasa konflik yang terberat yang pernah saya alami.
Konflik itu berawal dari pengunduran diri sang ketua yaitu iskandar atas dasar
perbedaan paham (prinsip). Saya mungkin tidak akan menjelaskannya secara detail
karena membutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan. Alasan bang Is memang
tidak dapat diterima dan pada saat itu saya memang sangat marah, meskipun
demikian dia tidak dapat diubah. Kami melanjutkan organisasi kami dengan
dipimpin oleh soliqin dan kemudian diteruskan oleh septian.
Sebenarnya
kehidupan organisasi kami sebelum konflik itu muncul berjalan sangat lancar dan
suasana sekretariat sangat nyaman untuk bercanda satu sama lain. Akan tetapi,
setelah konflik tersebut sekretariat menjadi sepi dan kami hanya akan berkumpul
ketika rapat-rapat saja. Disini saya belajar ketika sebelum konflik bahwa
kebahagiaan adalah segalanya untuk mengumpulkan setiap anggota dalam sebuah
rapat. Tak pernah lupa dalam ingatan saya ketika kami berkumpul di secretariat
hanya untuk mengerjai sesama anggota di setiap hari ulang tahunnya. Bahkan saya
diceburkan ke kolam di depan secretariat. Hal itu terjadi juga ketika saya
diikat di depan HMPS sewaktu saya masih menjadi anggota HMPS.
Ah
sudahlah nanti saya terlarut dalam air mata kebahagiaan waktu itu. Selanjutnya
masa jabatan akan segera berakhir dan saya berulangkali diminta untuk maju
ketingkat universitas oleh beberapa teman. Tetapi saya menolaknya, ketika itu
saya sudah memikirkan skripsi saya. Akan tetapi ada seorang sahabat yang
menghampiri saya ketika saya duduk didepan teras fakultas. Dia menghampiri dan
mengajak saya berbicara serius soal politik kampus. Tentu saya sudah menebak
apa ujung pembicaraan itu, dia mengatakan “kami butuh kamu, orang yang keras
kepala”. Kali ini dia memberikan gambaran umum tentang politik universitas,
memang secara angkatan sahabat saya ini lebih tua dari saya dan memiliki
intelijen yang banyak karena dia bagian dari organisasi afiliasi. Tapi bukan
berarti saya mengafiliasikan diri dengan kaumnya, karena saya hanya memanfaatkan
matanya saja di setiap kesempatan.
Saya
pada saat itu kemudian terbujuk dalam arus logikanya dan kemudian memutuskan
ikut maju melalui jalur independen, bukan pemilihan. Saya memilih jalur itu
karena saya yakin akan kalah jika lewat jalur pemilihan. Keyakinan itu
berdasarkan perhitungan saya karena saya bukan berasal dari organisasi afiliasi
yang memiliki massa. Melalui jalur independen, saya berhadapan dengan senior
dari jurusan PKNH dan ditentukan melalui rapat di DPMF. Ketika itu saya ditanya
oleh kawan-kawan jika maju ke tingkat universitas komisi apa yang akan kamu
pilih? Saya hanya menjawab legislasi. Ternyata teman-teman di DPMF pada saat
itu telah bersepakat bahwa jika saya memilih legislasi maka saya yang akan maju
bukan senior PKNH, entah apa alasan mereka lebih lanjut saya tidak
mengetahuinya.
Saya
yang terpilih kemudian bertemu dengan pejuang-pejuang baru universitas.
Beberapa teman yang saya kenal dan ingat adalah teman-teman yang aktif yaitu
jarot, giva, anung, aji, siti, dan syahril. Organisasi ini merupakan organisasi
yang sangat berat yang pernah saya alami. Konflik internal antar anggota dan
konflik eksternal yang masuk, muncul disini. Beberapa konflik yang pernah
muncul adalah keikutsertaan ketua ospek universitas dalam aksi mendukung salah
satu pasang calon presiden di 0 KM dan konflik pengaruh organisasi yang
berafiliasi. Konflik eksternal yang muncul adalah pembentukan kembali BEM REMA.
Konflik
keikutsertaan ketua ospek dalam kampanye merupakan sebuah situasi yang sangat
panas ditingkat universitas. Kamipun mengadakan rapat internal terlebih dahulu
sebelum memanggil ketua tersebut. Ketika rapat berlangsung juga sedikit panas
karena ada beberapa diantara kami yang juga mendukung pasangan calon tersebut. Seorang
diantara kami mengatakan itu hak seseorang dalam berpendapat, dan kemudia saya
pun ikut bicara. Saya mengakui itu hak akan tetapi ketua ospek itu menggunakan
atribut kampus yaitu almamater dan itu melanggar ketentuan yang berlaku di
dalam kampus. Saya kemudian menganalogikan jika anda seorang penjual bakso yang
tidak menggunakan almamater maka orang akan menyimpulkan anda seorang penjual
bakso. Akan tetapi jika anda seorang penjual bakso yang menggunakan almamater
maka anda merupakan seorang mahasiswa yang berasal dari kampus yang
almamaternya digunakan yang sedang berjualan bakso dan orang mengenal anda
sebagai mahasiswa sekaligus sebagai seorang pedagang bakso.
Setelah
melalui perdebatan panas maka kami memutuskan untuk memanggil ketua ospek.
Ketika pemanggilan itu berlangsung kami hanya menyodorkan pertanyaan mau maju
sampai rektor atau meminta maaf dan berjanji tidak mengulanginya. Ketua ospek
memilih opsi yang kedua dan permasalahan pun selesai. Konflik selanjutnya
adalah konflik internal yang berasal dari sudut pandang terhadap
afiliasi-afiliasi yang timbul.
Konflik
ini membawa saya sebagai orang yang berperan sebagai pendengar dan pembawa
pesan antar anggota yang memiliki konflik. Konflik ini membawa saya melihat
kepada kemarahan, kesedihan, kecurigaan, dan tidak adanya kata “persatuan”
diantara kami. Inilah yang kelak membawa menolak hidupnya kembali BEM REMA.
Konflik ini sebenarnya tidak terselesaikan hingga akhir masa jabatan kami dan
saya terus menjadi orang yang selalu menyediakan telingan dan mulut saya.
Selanjutnya
adalah konflik terkait isu menghidupkan kembali BEM REMA. Saya akan menjelaskan
alasan saya menolak kehidupan kembali sistem tata kelola itu. Saya menolaknya
karena alasan bahwa REMA akan menghadirkan konflik yang lebih tajam yang selama
ini saya lihat selama hidup dalam organisasi legislatif, trias politica tidak
akan berjalan sesuai dengan cita-cita REMA karena badan legislatif tidak
memiliki fungsi yang sesungguhnya, REMA hanya mewadahi organisasi eksternal
yang masuk ke dalam kampus.
Teman-teman
saya yang bersepakat dengan hadirnya kembali REMA memiliki alasan bahwa kaderisasi
organisasi telah mati sehingga diharapkan dengan adanya dinamika politik
melalui organisasi eksternal dapat menghidupkannya kembali. Saya memiliki
pemikiran berbeda dengan pendapat itu, karena saya beranggapan bahwa jika
seorang mahasiswa telah terafiliasi, maka jiwa, raga, dan pikiran mahasiswa itu
telah dimiliki sepenuhnya oleh organisasi eksternal yang terafiliasi dengan
partai. Disitulah letak independensi mahasiswa dipertanyakan dan kemudian
mereka dapat dengan mudah digerakkan oleh partai politik yang sangat jarang
sekali menyuarakan kebenaran. Itulah letak ketakutan saya bagi hadirnya REMA.
Sidang
Istimewa kemudian dilaksanakan dan saya pada saat itu menjadi pemimpin sidang
III. Ketika itu saya merasa dibungkam oleh teman-teman atas suara saya yang
tidak setuju. Saya yang bertugas mengetik jalannya sidang berusaha
memperhatikan alasan yang dilontarkan oleh teman-teman mengapa REMA harus hadir
kembali. Teman-teman yang hadir pada saat itu hanya meluapkan emosinya tidak
membahas sama sekali draft REMA yang telah diajukan oleh DPM KM. Disitu letak
kekecewaan saya, mereka seharusnya membantu DPM dalam menyempurnakan landasan
bukan melontarkan alasan emosional. Apabila teman-teman yang memang
bersungguh-sungguh dalam menerapkan REMA. Maka seharusnya mereka berpikir
tentang landasan Undang-Undang agar marwah sistem republik memang benar-benar
ditegakkan.
Ah
sudahlah itu semua sudah berlalu, saya mengingat kejadian yang aneh tapi lucu
bagi saya. Kejadian itu adalah peristiwa ketika seorang ketua datang ke DPMF
dan meminta tukar guling pasal, duh saya pikir ini hanya terjadi di tingkat
nasional. Kejadian kedua adalah ketika rapat bersama ketua organisasi lain di
tingkat universitas, seorang ketua itu bertanya kepada saya trias politica apa
wan? Duh saya pikir kamu itu jadi ketua organisasi besar paham akan arti
politik yang harus hadir di tingkat universitas.
Saya
yang kini melanjutkan belajar di kota solo dan tidak lagi aktif dalam sebuah
organisasi memiliki beberapa keinginan. Pertama, saya ingin berkontribusi
kepada tanah kelahiran saya yaitu kabupaten bekasi, kedua saya ingin mendirikan
sebuah perpustakaan kecil di kota itu, ketiga melalui pendidikan saya ingin
berkontribusi membuka pemikiran masyarakat akan arti politik yang bersih,
sehat, baik, dan dapat membawa kepada tujuan kesejahteraan bersama, keempat
saya berkeinginan memiliki sebuah lembaga beasiswa bagi seluruh rakyat yang
kurang mampu. Beasiswa ini menggunakan sistem iuran dari seluruh orang yang
peduli pendidikan Indonesia. Orang yang diberikan beasiswa berkewajiban untuk
mengembalikannya dengan cara mencicil jika ia sudah hidup layak atau
menyekolahkan satu anak hingga lulus S1. Semua itu cita-cita saya semoga bisa
terwujud demi meneruskan perjuangan para pejuang yang telah gugur untuk negeri,
bangsa, dan saudaranya meskipun tidak seiman tapi kita sesama anak manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar