Minggu, 25 Desember 2016

AKU


Sejak awal masuk dunia kampus, saya berjanji kepada diri saya untuk tidak ikut dalam organisasi yang berafiliasi dengan partai politik. Godaan banyak ditawarkan oleh beberapa kawan baik itu dari organisasi yang berafiliasi dengan partai nasionalis dan partai agamis. Tetapi saya yang keras kepala terus menolaknya dengan halus.

Saya yang berdiri sendiri tanpa dukungan organisasi yang berafiliasi dengan partai politik berusaha berkontribusi melalui pikiran saya dengan masuk ke dalam beberapa organisasi resmi di kampus. Organisasi pertama yang saya masuki adalah Himpunan Mahasiswa Pendidikan Sejarah. Organisasi ini memiliki banyak anggota dari yang malas, rajin, semangat, lucu, serius, dan memiliki ikatan kuat dalam arti sebuah kata yaitu keluarga. Tentu dalam sebuah organisasi memiliki banyak sudut pandang di dalamnya dari sudut pandang golongan islam, nasionalis, dan sosialis.
Perbedaan itu dikemas sedemikian rupa dengan konflik pemikiran dan pembelajaran dewasa yang dimiliki dalam budaya organisasi ini. Sehingga, setiap perbedaan yang ada tidak membuat organisasi ini tercerai berai. Saya rasa organisasi inilah yang membuat saya mengenal arti kata kakak, mas, mbak, dan adik. Semua itu bukan sebuah kata-kata formalitas dari organisasi ini tapi anggota dari organisasi itu menerapkannya dalam kehidupan keluarga hingga kini.
Tahun selanjutnya, saya melanjutkan kehidupan organisasi saya dalam organisasi Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas. Saya meninggalkan  HMPS bukan berarti saya lalu melupakannya, saya hanya ingin merasakan dan mencari tahu apa tugas dan fungsi dewan di kalangan mahasiswa. DPMF memiliki beberapa anggota sehingga saya bisa menyebutkannya disini. Mereka adalah Iskandar, septian, yekti, tisya, uswah, vifel, prima, sugi, giva, fitria, nia, sodiah, soliqin, dan Irma. Saya tergabung dalam komisi III yang membidangi advokasi mahasiswa, tapi dalam praktiknya saya lebih fokus terhadap legislasi. Mungkin cara berpikir saya yang membuat saya lebih memfokuskan diri dibidang itu.
Organisasi ini dijalankan oleh kami dengan susah payah, karena jumlah kami sangat sedikit. Sehingga tidak jarang kami merangkap jabatan dalam sebuah penyelenggaraan acara.  Organisasi ini juga tidak terlepas dari konflik, konflik yang kami hadapi adalah konflik internal. Konflik itu yang saya rasa konflik yang terberat yang pernah saya alami. Konflik itu berawal dari pengunduran diri sang ketua yaitu iskandar atas dasar perbedaan paham (prinsip). Saya mungkin tidak akan menjelaskannya secara detail karena membutuhkan persetujuan dari yang bersangkutan. Alasan bang Is memang tidak dapat diterima dan pada saat itu saya memang sangat marah, meskipun demikian dia tidak dapat diubah. Kami melanjutkan organisasi kami dengan dipimpin oleh soliqin dan kemudian diteruskan oleh septian.
Sebenarnya kehidupan organisasi kami sebelum konflik itu muncul berjalan sangat lancar dan suasana sekretariat sangat nyaman untuk bercanda satu sama lain. Akan tetapi, setelah konflik tersebut sekretariat menjadi sepi dan kami hanya akan berkumpul ketika rapat-rapat saja. Disini saya belajar ketika sebelum konflik bahwa kebahagiaan adalah segalanya untuk mengumpulkan setiap anggota dalam sebuah rapat. Tak pernah lupa dalam ingatan saya ketika kami berkumpul di secretariat hanya untuk mengerjai sesama anggota di setiap hari ulang tahunnya. Bahkan saya diceburkan ke kolam di depan secretariat. Hal itu terjadi juga ketika saya diikat di depan HMPS sewaktu saya masih menjadi anggota HMPS.
Ah sudahlah nanti saya terlarut dalam air mata kebahagiaan waktu itu. Selanjutnya masa jabatan akan segera berakhir dan saya berulangkali diminta untuk maju ketingkat universitas oleh beberapa teman. Tetapi saya menolaknya, ketika itu saya sudah memikirkan skripsi saya. Akan tetapi ada seorang sahabat yang menghampiri saya ketika saya duduk didepan teras fakultas. Dia menghampiri dan mengajak saya berbicara serius soal politik kampus. Tentu saya sudah menebak apa ujung pembicaraan itu, dia mengatakan “kami butuh kamu, orang yang keras kepala”. Kali ini dia memberikan gambaran umum tentang politik universitas, memang secara angkatan sahabat saya ini lebih tua dari saya dan memiliki intelijen yang banyak karena dia bagian dari organisasi afiliasi. Tapi bukan berarti saya mengafiliasikan diri dengan kaumnya, karena saya hanya memanfaatkan matanya saja di setiap kesempatan.
Saya pada saat itu kemudian terbujuk dalam arus logikanya dan kemudian memutuskan ikut maju melalui jalur independen, bukan pemilihan. Saya memilih jalur itu karena saya yakin akan kalah jika lewat jalur pemilihan. Keyakinan itu berdasarkan perhitungan saya karena saya bukan berasal dari organisasi afiliasi yang memiliki massa. Melalui jalur independen, saya berhadapan dengan senior dari jurusan PKNH dan ditentukan melalui rapat di DPMF. Ketika itu saya ditanya oleh kawan-kawan jika maju ke tingkat universitas komisi apa yang akan kamu pilih? Saya hanya menjawab legislasi. Ternyata teman-teman di DPMF pada saat itu telah bersepakat bahwa jika saya memilih legislasi maka saya yang akan maju bukan senior PKNH, entah apa alasan mereka lebih lanjut saya tidak mengetahuinya.
Saya yang terpilih kemudian bertemu dengan pejuang-pejuang baru universitas. Beberapa teman yang saya kenal dan ingat adalah teman-teman yang aktif yaitu jarot, giva, anung, aji, siti, dan syahril. Organisasi ini merupakan organisasi yang sangat berat yang pernah saya alami. Konflik internal antar anggota dan konflik eksternal yang masuk, muncul disini. Beberapa konflik yang pernah muncul adalah keikutsertaan ketua ospek universitas dalam aksi mendukung salah satu pasang calon presiden di 0 KM dan konflik pengaruh organisasi yang berafiliasi. Konflik eksternal yang muncul adalah pembentukan kembali BEM REMA.
Konflik keikutsertaan ketua ospek dalam kampanye merupakan sebuah situasi yang sangat panas ditingkat universitas. Kamipun mengadakan rapat internal terlebih dahulu sebelum memanggil ketua tersebut. Ketika rapat berlangsung juga sedikit panas karena ada beberapa diantara kami yang juga mendukung pasangan calon tersebut. Seorang diantara kami mengatakan itu hak seseorang dalam berpendapat, dan kemudia saya pun ikut bicara. Saya mengakui itu hak akan tetapi ketua ospek itu menggunakan atribut kampus yaitu almamater dan itu melanggar ketentuan yang berlaku di dalam kampus. Saya kemudian menganalogikan jika anda seorang penjual bakso yang tidak menggunakan almamater maka orang akan menyimpulkan anda seorang penjual bakso. Akan tetapi jika anda seorang penjual bakso yang menggunakan almamater maka anda merupakan seorang mahasiswa yang berasal dari kampus yang almamaternya digunakan yang sedang berjualan bakso dan orang mengenal anda sebagai mahasiswa sekaligus sebagai seorang pedagang bakso.
Setelah melalui perdebatan panas maka kami memutuskan untuk memanggil ketua ospek. Ketika pemanggilan itu berlangsung kami hanya menyodorkan pertanyaan mau maju sampai rektor atau meminta maaf dan berjanji tidak mengulanginya. Ketua ospek memilih opsi yang kedua dan permasalahan pun selesai. Konflik selanjutnya adalah konflik internal yang berasal dari sudut pandang terhadap afiliasi-afiliasi yang timbul.
Konflik ini membawa saya sebagai orang yang berperan sebagai pendengar dan pembawa pesan antar anggota yang memiliki konflik. Konflik ini membawa saya melihat kepada kemarahan, kesedihan, kecurigaan, dan tidak adanya kata “persatuan” diantara kami. Inilah yang kelak membawa menolak hidupnya kembali BEM REMA. Konflik ini sebenarnya tidak terselesaikan hingga akhir masa jabatan kami dan saya terus menjadi orang yang selalu menyediakan telingan dan mulut saya.
Selanjutnya adalah konflik terkait isu menghidupkan kembali BEM REMA. Saya akan menjelaskan alasan saya menolak kehidupan kembali sistem tata kelola itu. Saya menolaknya karena alasan bahwa REMA akan menghadirkan konflik yang lebih tajam yang selama ini saya lihat selama hidup dalam organisasi legislatif, trias politica tidak akan berjalan sesuai dengan cita-cita REMA karena badan legislatif tidak memiliki fungsi yang sesungguhnya, REMA hanya mewadahi organisasi eksternal yang masuk ke dalam kampus.
Teman-teman saya yang bersepakat dengan hadirnya kembali REMA memiliki alasan bahwa kaderisasi organisasi telah mati sehingga diharapkan dengan adanya dinamika politik melalui organisasi eksternal dapat menghidupkannya kembali. Saya memiliki pemikiran berbeda dengan pendapat itu, karena saya beranggapan bahwa jika seorang mahasiswa telah terafiliasi, maka jiwa, raga, dan pikiran mahasiswa itu telah dimiliki sepenuhnya oleh organisasi eksternal yang terafiliasi dengan partai. Disitulah letak independensi mahasiswa dipertanyakan dan kemudian mereka dapat dengan mudah digerakkan oleh partai politik yang sangat jarang sekali menyuarakan kebenaran. Itulah letak ketakutan saya bagi hadirnya REMA.
Sidang Istimewa kemudian dilaksanakan dan saya pada saat itu menjadi pemimpin sidang III. Ketika itu saya merasa dibungkam oleh teman-teman atas suara saya yang tidak setuju. Saya yang bertugas mengetik jalannya sidang berusaha memperhatikan alasan yang dilontarkan oleh teman-teman mengapa REMA harus hadir kembali. Teman-teman yang hadir pada saat itu hanya meluapkan emosinya tidak membahas sama sekali draft REMA yang telah diajukan oleh DPM KM. Disitu letak kekecewaan saya, mereka seharusnya membantu DPM dalam menyempurnakan landasan bukan melontarkan alasan emosional. Apabila teman-teman yang memang bersungguh-sungguh dalam menerapkan REMA. Maka seharusnya mereka berpikir tentang landasan Undang-Undang agar marwah sistem republik memang benar-benar ditegakkan.
Ah sudahlah itu semua sudah berlalu, saya mengingat kejadian yang aneh tapi lucu bagi saya. Kejadian itu adalah peristiwa ketika seorang ketua datang ke DPMF dan meminta tukar guling pasal, duh saya pikir ini hanya terjadi di tingkat nasional. Kejadian kedua adalah ketika rapat bersama ketua organisasi lain di tingkat universitas, seorang ketua itu bertanya kepada saya trias politica apa wan? Duh saya pikir kamu itu jadi ketua organisasi besar paham akan arti politik yang harus hadir di tingkat universitas.
Saya yang kini melanjutkan belajar di kota solo dan tidak lagi aktif dalam sebuah organisasi memiliki beberapa keinginan. Pertama, saya ingin berkontribusi kepada tanah kelahiran saya yaitu kabupaten bekasi, kedua saya ingin mendirikan sebuah perpustakaan kecil di kota itu, ketiga melalui pendidikan saya ingin berkontribusi membuka pemikiran masyarakat akan arti politik yang bersih, sehat, baik, dan dapat membawa kepada tujuan kesejahteraan bersama, keempat saya berkeinginan memiliki sebuah lembaga beasiswa bagi seluruh rakyat yang kurang mampu. Beasiswa ini menggunakan sistem iuran dari seluruh orang yang peduli pendidikan Indonesia. Orang yang diberikan beasiswa berkewajiban untuk mengembalikannya dengan cara mencicil jika ia sudah hidup layak atau menyekolahkan satu anak hingga lulus S1. Semua itu cita-cita saya semoga bisa terwujud demi meneruskan perjuangan para pejuang yang telah gugur untuk negeri, bangsa, dan saudaranya meskipun tidak seiman tapi kita sesama anak manusia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar