Kamis, 31 Januari 2019

Belanda, Hindia Belanda, dan Politik Etis untuk Kaum Liberal


Kebijakan yang diambil untuk tanah Hindia Belanda tidak dapat dilepaskan dari kondisi politik di negeri induk (Belanda). Kita patut mengetahui siapa yang menguasai parlemen di negeri induk agar dapat menginterpretasikan kebijakan bagi tanah Hindia. Jika kita mengkaji dari sudut pandang sosiologi hukum, kebijakan yang dikeluarkan negeri induk bagi tanah Hindia sangat bertolak belakang dari norma dan nilai yang ada di masyarakat Hindia. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh revolusi industri yang menjadikan politisi-politisi negeri Belanda semakin tamak dan rakus untuk kepentingan perutnya. Proses industrialisasi di tanah Hindia terus berkembang pesat, sebenarnya proses industrialisasi tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Belanda yang menancapkan kepentingan perutnya di tanah Hindia. Akan tetapi kerajaan-kerajaan Nusantara yang dapat beradaptasi dengan zaman juga melakukan proses industrialisasi dengan mendirikan pabrik-pabrik gula.

Tentu kita tidak lupa dengan kebijakan UU Agraria 1870 yang secara umum mengatur tentang bagaimana kepemilikan tanah yang bertujuan untuk digunakan dalam rangka meningkatkan perekonomian Hindia Belanda. Akan tetapi kebijakan itu sebenarnya adalah langkah awal untuk membuka gerbang bagi para kaum liberal eropa agar dapat masuk ke tanah Hindia yang begitu subur. Kebijakan itu kemudian disusul dengan adanya Koeli Ordonantie dan Poenale Sanctie setelah pemerintah Hindia Belanda memiliki fondasi hukum desentralisasi.
Tercatat, kaum liberal secara sah menguasai parlemen Belanda pada tahun 1901 setelah sebelumnya berhasil menelurkan kebijakan UU Agraria. Kaum konservatif yang menginginkan negeri induk berkuasa penuh atas Hindia Belanda dalam berbagai bidang mengalami kemunduran setelah kebijakan cultuurstelsel mendapatkan banyak kritikan dari kaum humanis yang kemudian tekanan dari kelompok humanis tersebut dimanfaatkan oleh kelompok politisi liberal untuk membuka gerbang investasi bagi perseorangan agar dapat masuk ke Hindia Belanda dan menjalankan bisnisnya. Kegagalan kelompok konservatif membuat posisi Gubernur Jendral kembali seperti halnya zaman VoC. Pada saat VoC berkuasa, Gubernur Jendral memiliki peran dalam hal politik, sosial, keamanan, dan tata kota sedangkan kekuatan ekonomi berada dalam genggaman Heeren Seventeen. Posisi tersebut kembali terulang sejak UU Agraria diterapkan meskipun Gubernur Jendral memiliki Badan Usaha Milik Negara sendiri, investasi dan perjalanan bisnis swasta lebih berkembang dan lebih berperan dalam meningkatkan ekonomi tanah Hindia.
Kemenangan kaum liberal dalam pemilu 1901 membuat kelompok ini berkuasa atas tanah Hindia. Salah satu Undang-Undang yang kembali ditelurkan dan memiliki dampak luas adalah UU Desentralisasi 1903 yang merupakan landasan politik etis di Hindia Belanda. UU Desentralisasi 1903 hanya terdapat tiga buah pasal baru yang membedakan dengan UU sebelumnya yaitu RR 1854. Tiga buah pasal itu secara umum menyebutkan pemisahan pengelolaan keuangan (keuangan mandiri) antara negeri Induk dengan negeri Jajahan.
Ratu Wilhelmina yang mengeluarkan pidato politik etis di tahun 1901 dan disertai landasan UU Desentralisasi 1903 memiliki tujuan yang baik. Tujuan tersebut adalah membalas budi rakyat Hindia Belanda yang telah “bekerja keras” mengembalikan kondisi keuangan pemerintah Belanda yang babak belur menghadapi perang Diponegoro dan pemberontakan rakyat Belgia. Politik etis yang berintikan perbaikan edukasi, irigasi, dan migrasi dimanfaatkan oleh kaum liberal untuk kepentingan bisnisnya. Edukasi dimanfaatkan untuk mencetak tenaga administratif yang murah. Hal itu dilakukan karena jika mendatangkan tenaga administratif dari negeri Belanda akan memakan banyak biaya. Irigasi dimanfaatkan untuk mengairi perkebunan-perkebunan swasta bukan untuk rakyat Hindia Belanda. Migrasi dimanfaatkan untuk mengirimkan tenaga kerja ke luar jawa akibat adanya kepadatan penduduk di pulau jawa dan banyaknya perkebunan swasta baru yang berdiri di luar jawa.
Kebijakan politik etis ini bagai pisau bermata dua, secara ekonomi kebijakan ini sangat menguntungkan kaum liberal disisi lain kebijakan ini melahirkan sebuah golongan baru yang disebut oleh Robert Van Niel sebagai gologan elite modern baru. Golongan elite modern baru ini adalah golongan priyayi rendah, priyayi rendahan kebanyakan terdiri dari anak muda dan keluarga dekat administrator-administratur pemerintah dan kaum ningrat. Golongan ini berjuang dari bawah untuk mencapai jabatan di dalam pemerintahan. Berbeda dengan golongan priyayi tinggi yang memang secara garis keturunan mereka telah mendapatkan kedudukan yang baik dalam posisi pemerintahan. Akan tetapi, pada era ini terdapat pergeseran status sosial yang semula sebutan “Raden Mas” hanya ditujukan kepada priyayi tinggi kini sebutan itu dapat dilekatkan kepada priyayi rendah.
Lahirnya golongan priyayi rendah yang tidak dapat dilepaskan dari kebijakan politik etis juga merupakan buah tangan dari seorang pejabat kolonial yang bernama J. H. Abendanon. Nama ini tidak asing bagi orang-orang yang telah membaca isi surat-surat Raden Ajeng Kartini kepada istri J. H. Abendanon. J. H. Abendanon seringkali mengadakan perjalanan untuk mengetahui kondisi rakyat bumiputera, tugas itu dilakasanakan kemudian akan dilaporkan kepada Gubernur Jendral dan diteruskan kepada menteri jajahan. Seringkali dalam laporannya J. H. Abendanon menuliskan beberapa saran yang difokuskan untuk memajukan pendidikan dan kesehatan. Oleh sebab itu, banyak orang yang mencatatnya sebagai seorang yang humanis.
Sayangnya, laporan-laporan kelompok humanis ini dimanfaatkan oleh kelompok liberal di Belanda untuk memenangkan pemilu di parlemen dengan berbagai dalih kemanusiaan. Kedatangan kelompok liberal yang secara langsung menanamkan investasinya lambat laun menggeser kedudukan status sosial bangsa eropa di Hindia yang tidak mampu bertahan dan menyesuaikan zaman. Keturunan eropa yang semula hidup dengan bermewah-mewahan kemudian mengalami masa sulit pasca perang dunia I. Di sisi lain, keturunan eropa dan para bangsawan Indonesia yang telah memiliki perusahaan berusaha memutar otak untuk dapat bertahan dan terus hidup dalam masa kejayaan.
Salah satu caranya adalah dengan meminjamkan uang kepada para kawulanya sebanyak 12 gulden yang kemudian diwajibkan dibayar dengan cara kerja di perkebunan milik salah satu bangsawan jawa minimal Sembilan bulan. Padahal, jika dihitung maka kawula hanya diupah sebesar 4 sen per hari, sedangkan upah minimal yang wajib diterima berdasarkan aturan pemerintah Hindia Belanda adalah 26 sen per hari. Kawula terpaksa melakukannya karena adanya desas-desus bahwa hak kepemilikan tanah mereka akan dicabut. Kawula semakin mengalami penindasan dan penghisapan dari pola pikir kapitalis yang meracuni bangsawan jawa. Hal itu dilakukan oleh bangsawan jawa untuk mempertahankan status sosialnya ditengah keterbatasan ekonomi pasca perang dunia I. Sedangkan rakyat yang tidak hidup dibawah kekuasaan vorstenlanden dipekerjakan di perkebunan-perkebunan swasta dengan ikatan koeli ordonantie dan poenale sanctienya. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh besar seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Thamrin, dan lain-lain menentang adanya kaum kapitalis yang menghisap rakyat Indonesia demi kepuasan materialnya.

Sumber:
Munculnya elite modern Indonesia
Keselarasan dan kejanggalan
Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk
Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional


Tidak ada komentar:

Posting Komentar