Kebijakan
yang diambil untuk tanah Hindia Belanda tidak dapat dilepaskan dari kondisi
politik di negeri induk (Belanda). Kita patut mengetahui siapa yang menguasai
parlemen di negeri induk agar dapat menginterpretasikan kebijakan bagi tanah
Hindia. Jika kita mengkaji dari sudut pandang sosiologi hukum, kebijakan yang
dikeluarkan negeri induk bagi tanah Hindia sangat bertolak belakang dari norma
dan nilai yang ada di masyarakat Hindia. Hal itu tidak terlepas dari pengaruh
revolusi industri yang menjadikan politisi-politisi negeri Belanda semakin
tamak dan rakus untuk kepentingan perutnya. Proses industrialisasi di tanah
Hindia terus berkembang pesat, sebenarnya proses industrialisasi tidak hanya
dilakukan oleh orang-orang Belanda yang menancapkan kepentingan perutnya di
tanah Hindia. Akan tetapi kerajaan-kerajaan Nusantara yang dapat beradaptasi
dengan zaman juga melakukan proses industrialisasi dengan mendirikan
pabrik-pabrik gula.
Tentu
kita tidak lupa dengan kebijakan UU Agraria 1870 yang secara umum mengatur
tentang bagaimana kepemilikan tanah yang bertujuan untuk digunakan dalam rangka
meningkatkan perekonomian Hindia Belanda. Akan tetapi kebijakan itu sebenarnya
adalah langkah awal untuk membuka gerbang bagi para kaum liberal eropa agar
dapat masuk ke tanah Hindia yang begitu subur. Kebijakan itu kemudian disusul
dengan adanya Koeli Ordonantie dan Poenale Sanctie setelah pemerintah Hindia
Belanda memiliki fondasi hukum desentralisasi.
Tercatat,
kaum liberal secara sah menguasai parlemen Belanda pada tahun 1901 setelah
sebelumnya berhasil menelurkan kebijakan UU Agraria. Kaum konservatif yang
menginginkan negeri induk berkuasa penuh atas Hindia Belanda dalam berbagai
bidang mengalami kemunduran setelah kebijakan cultuurstelsel mendapatkan banyak
kritikan dari kaum humanis yang kemudian tekanan dari kelompok humanis tersebut
dimanfaatkan oleh kelompok politisi liberal untuk membuka gerbang investasi
bagi perseorangan agar dapat masuk ke Hindia Belanda dan menjalankan bisnisnya.
Kegagalan kelompok konservatif membuat posisi Gubernur Jendral kembali seperti
halnya zaman VoC. Pada saat VoC berkuasa, Gubernur Jendral memiliki peran dalam
hal politik, sosial, keamanan, dan tata kota sedangkan kekuatan ekonomi berada
dalam genggaman Heeren Seventeen. Posisi tersebut kembali terulang sejak UU
Agraria diterapkan meskipun Gubernur Jendral memiliki Badan Usaha Milik Negara
sendiri, investasi dan perjalanan bisnis swasta lebih berkembang dan lebih
berperan dalam meningkatkan ekonomi tanah Hindia.
Kemenangan
kaum liberal dalam pemilu 1901 membuat kelompok ini berkuasa atas tanah Hindia.
Salah satu Undang-Undang yang kembali ditelurkan dan memiliki dampak luas
adalah UU Desentralisasi 1903 yang merupakan landasan politik etis di Hindia
Belanda. UU Desentralisasi 1903 hanya terdapat tiga buah pasal baru yang
membedakan dengan UU sebelumnya yaitu RR 1854. Tiga buah pasal itu secara umum
menyebutkan pemisahan pengelolaan keuangan (keuangan mandiri) antara negeri
Induk dengan negeri Jajahan.
Ratu
Wilhelmina yang mengeluarkan pidato politik etis di tahun 1901 dan disertai
landasan UU Desentralisasi 1903 memiliki tujuan yang baik. Tujuan tersebut
adalah membalas budi rakyat Hindia Belanda yang telah “bekerja keras”
mengembalikan kondisi keuangan pemerintah Belanda yang babak belur menghadapi
perang Diponegoro dan pemberontakan rakyat Belgia. Politik etis yang berintikan
perbaikan edukasi, irigasi, dan migrasi dimanfaatkan oleh kaum liberal untuk
kepentingan bisnisnya. Edukasi dimanfaatkan untuk mencetak tenaga administratif
yang murah. Hal itu dilakukan karena jika mendatangkan tenaga administratif
dari negeri Belanda akan memakan banyak biaya. Irigasi dimanfaatkan untuk
mengairi perkebunan-perkebunan swasta bukan untuk rakyat Hindia Belanda.
Migrasi dimanfaatkan untuk mengirimkan tenaga kerja ke luar jawa akibat adanya
kepadatan penduduk di pulau jawa dan banyaknya perkebunan swasta baru yang
berdiri di luar jawa.
Kebijakan
politik etis ini bagai pisau bermata dua, secara ekonomi kebijakan ini sangat
menguntungkan kaum liberal disisi lain kebijakan ini melahirkan sebuah golongan
baru yang disebut oleh Robert Van Niel sebagai gologan elite modern baru.
Golongan elite modern baru ini adalah golongan priyayi rendah, priyayi rendahan
kebanyakan terdiri dari anak muda dan keluarga dekat
administrator-administratur pemerintah dan kaum ningrat. Golongan ini berjuang
dari bawah untuk mencapai jabatan di dalam pemerintahan. Berbeda dengan
golongan priyayi tinggi yang memang secara garis keturunan mereka telah
mendapatkan kedudukan yang baik dalam posisi pemerintahan. Akan tetapi, pada
era ini terdapat pergeseran status sosial yang semula sebutan “Raden Mas” hanya
ditujukan kepada priyayi tinggi kini sebutan itu dapat dilekatkan kepada
priyayi rendah.
Lahirnya
golongan priyayi rendah yang tidak dapat dilepaskan dari kebijakan politik etis
juga merupakan buah tangan dari seorang pejabat kolonial yang bernama J. H.
Abendanon. Nama ini tidak asing bagi orang-orang yang telah membaca isi
surat-surat Raden Ajeng Kartini kepada istri J. H. Abendanon. J. H. Abendanon
seringkali mengadakan perjalanan untuk mengetahui kondisi rakyat bumiputera,
tugas itu dilakasanakan kemudian akan dilaporkan kepada Gubernur Jendral dan
diteruskan kepada menteri jajahan. Seringkali dalam laporannya J. H. Abendanon
menuliskan beberapa saran yang difokuskan untuk memajukan pendidikan dan
kesehatan. Oleh sebab itu, banyak orang yang mencatatnya sebagai seorang yang
humanis.
Sayangnya,
laporan-laporan kelompok humanis ini dimanfaatkan oleh kelompok liberal di
Belanda untuk memenangkan pemilu di parlemen dengan berbagai dalih kemanusiaan.
Kedatangan kelompok liberal yang secara langsung menanamkan investasinya lambat
laun menggeser kedudukan status sosial bangsa eropa di Hindia yang tidak mampu
bertahan dan menyesuaikan zaman. Keturunan eropa yang semula hidup dengan
bermewah-mewahan kemudian mengalami masa sulit pasca perang dunia I. Di sisi
lain, keturunan eropa dan para bangsawan Indonesia yang telah memiliki perusahaan
berusaha memutar otak untuk dapat bertahan dan terus hidup dalam masa kejayaan.
Salah
satu caranya adalah dengan meminjamkan uang kepada para kawulanya sebanyak 12
gulden yang kemudian diwajibkan dibayar dengan cara kerja di perkebunan milik
salah satu bangsawan jawa minimal Sembilan bulan. Padahal, jika dihitung maka
kawula hanya diupah sebesar 4 sen per hari, sedangkan upah minimal yang wajib
diterima berdasarkan aturan pemerintah Hindia Belanda adalah 26 sen per hari.
Kawula terpaksa melakukannya karena adanya desas-desus bahwa hak kepemilikan
tanah mereka akan dicabut. Kawula semakin mengalami penindasan dan penghisapan
dari pola pikir kapitalis yang meracuni bangsawan jawa. Hal itu dilakukan oleh
bangsawan jawa untuk mempertahankan status sosialnya ditengah keterbatasan
ekonomi pasca perang dunia I. Sedangkan rakyat yang tidak hidup dibawah
kekuasaan vorstenlanden dipekerjakan di perkebunan-perkebunan swasta dengan
ikatan koeli ordonantie dan poenale sanctienya. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh
besar seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim, Thamrin, dan lain-lain
menentang adanya kaum kapitalis yang menghisap rakyat Indonesia demi kepuasan
materialnya.
Sumber:
Munculnya elite modern
Indonesia
Keselarasan dan
kejanggalan
Hindia Belanda: Studi Tentang Ekonomi Majemuk
Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar