Kamis, 14 Februari 2019

Kejayaan Gula dan Depresi Ekonomi 1930


Istilah disitu ada gula pasti ada semut sering kali kita dengar, mungkin ungkapan ini muncul ditahun 1918-1930an. Ini mungkin loh ya, karena belum ada sumber sejarah yang mengatakan demikian ini hanya kemungkinan saja. Pasca perang dunia I, Hindia Belanda menerapkan kebijakan penanaman padi dengan skala besar karena pada saat itu, harga beras sedang meningkat tajam. Kesempatan tersebut kemudian dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya. Akan tetapi kondisi tersebut tidak berlangsung lama. Tepatnya, pada tahun 1920 harga komoditas dunia berubah.
Panen beras pada saat itu sangatlah buruk. Untuk mencegah keadaan semakin memburuk, pemerintah menghapus seluruh kebijakan pelarangan impor beras. Hal tersebut menandakan bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak menganut ekonomi liberal secara murni. Hal itu juga mengakibatkan Hindia Belanda mengalami krisis beras akibat pemerintah mengalihkan perhatiannya ke beberapa komoditas yang sangat diminati di Eropa. Selain itu, harga beras di pasar dunia memang sedang mengalami penurunan dari tahun ke tahun hingga tahun 1940.
Lahan pertanian bahkan terus mengalami penyusutan karena pemerintah lebih mementingkan penanaman komoditas yang memiliki nilai jual tinggi di pasar dunia. Beberapa komoditas tersebut antara lain gula, karet, teh, tembakau, kopi, kulit kina, kelapa sawit, dan biji kelapa sawit. Hal ini dilirik oleh investor dunia untuk menanamkan modalnya secara berlebih di bidang perkebunan. Pemerintah dengan kebijakannya yang mengurangi produksi beras mengakibatkan munculnya berbagai gejolak-gejolak di masyarakat. Produksi beras dikurangi, akan tetapi lahan pertanian ditanami pohon-pohon tebu yang kemudian dialiri air melalui program irigasi dari politik etis. Rakyat semakin menderita ditambah dengan adanya program wajib kerja di perkebunan selama 12 hari dari setiap 35 hari.
Rakyat yang semakin tertindas tidak dipedulikan oleh pemerintah Hindia Belanda dan kaum liberal. Mereka menikmati keuntungan yang besar di tahun 1920 dan memproduksi komoditas dengan skala besar untuk mendapatkan keuntungan. Di tahun 1920 pemerintah Hindia Belanda dan kaum liberal menikmati masa kejayaan gula di Hindia Belanda. Kaum liberal disini bukan hanya kelompok orang eropa yang menanamkan modalnya di Hindia loh, akan tetapi juga para bangsawan yang memiliki pabrik-pabrik gula. Para bangsawan ini juga mendapat perlawanan dari seorang tokoh nasional yaitu Cipto Mangunkusumo yang membela rakyat Surakarta atas penindasan bangsawan dengan cara kerja yang diupah jauh dibawah ketentuan pemerintah.
Kaum liberal yang serakah dan menghisap darah rakyat memproduksi kebutuhan dunia dengan skala besar. Bahkan M. H. Thamrin mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda mengeruk emas dengan lumuran darah rakyat Indonesia. Produksi yang berlebihan tersebut mulai memunculkan tanda-tanda krisis sejak tahun 1925. Tanda tersebut diawali dengan adanya gejolak politik di kalangan rakyat yang kemudian memuncak di tahun 1927 dengan munculnya perlawanan PKI di berbagai daerah. Di tahun 1925, barang-barang yang diproduksi tersebut mulai tertahan di pelabuhan-pelabuhan karena tidak seimbangnya perhitungan arus barang dengan jumlah kapal-kapal pengangkut. Di sisi lain secara politik, perlawanan PKI yang tidak terencana dengan matang dan tidak melibatkan elemen-elemen gerakan nasionalis lain mengakibatkan diterapkannya pasal karet 151 dan 161 yang mengandung inti bahwa setiap kegiatan yang mengancam keamanan dan ketertiban harus segera ditindak oleh pemerintah Hindia Belanda. Pasal ini kemudian mampu menginternir pemimpin-pemimpin politik nasionalis salah satu diantaranya adalah Sukarno. Pemerintah bahkan mengerahkan PID (Politiek Inlichtingen Dienst) atau intelijen di bidang politik untuk mengawasi aktivitas politik bangsa Indonesia. Bahkan dengan adanya PID, partai politik Indonesia menggunakan sarana pagelaran wayang dalam menyalurkan propaganda kemerdekaannya agar tidak diketahui PID.
Pemerintah yang menghadapi ancaman gerakan nasionalis yang sangat massif juga harus menghadapai kenyataan kondisi ekonomi dunia di tahun 1930. Menurut Mohammad Hatta, krisis yang terjadi di Hindia Belanda tidak terlepas dari kondisi ekonomi Internasional. Ekonomi Internasional mengalami keruntuhan akibat adanya persaingan bunga bank antara bank Amerika Serikat dengan bank Eropa. Persaingan bunga tersebut dilakukan untuk menahan para investor untuk tidak meninggalkan kedua wilayah tersebut. “Krisis bermoela di Amerika, karena disana system kredit roeboeh lebih dahoeloe, dan kembang ke seloeroeh doenia. Krisis tersebut menjalar ke berbagai negara antara lain runtuhnya bank kredit anstalt (wina), Inggris, negara-negara skandinavia, Jepang, dan Hindia Belanda.”
Keadaan tersebut sangat dirasakan oleh kaum buruh di kota, sedangkan masyarakat yang hidup di pedesaan kurang merasakan dampak krisis ekonomi tersebut. Hal itu terjadi karena masyarakat di wilayah pedesaan ternyata masih mengandalkan sistem barter bukan dengan menggunakan uang. Kondisi di Brazil bahkan lebih menyedihkan karena Masyarakat Brazil menjadikan berjuta-juta karung kopi atau gandum dipakai sebagai pengganti batu arang untuk menjalankan pabrik, sebab barang-barang itu berlebih terlalu banyak dan tidak dapat dijual dengan untung. Di Indonesia dan Amerika khususnya di kalangan buruh beredar kalimat “Hari ini mungkin aku atau besok kamu” kalimat itu muncul karena banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja yang dilakukan oleh perusahaan.
Di tahun 1930, akibat adanya depresi ekonomi lahirlah sebuah teori ekonomi yang terkenal yang dicetuskan oleh Keynes. Menurut Keynes melalui model tingkah laku perekonomian menjelaskan bahwa pada dekade 1930 dunia mengalami keadaan kelebihan penawaran dan harga yang kaku. Penawaran yang berlebihan akibat dari kelebihan produksi menyebabkan harga barang tersebut jatuh dan tidak mampu menutupi biaya produksi. Hal itu disadari oleh pemerintah Hindia Belanda saat kondisi semakin parah. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil langkah untuk membatasi produksi yang dilakukan oleh perusahaan. Langkah tersebut kembali menunjukkan bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak konsisten dalam memilih jalan liberalisme dan cenderung mengedepankan dualisme ekonomi. Untuk dapat keluar dari jerat depresi ekonomi, maka pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan laissez-faire economic policies in an attempt to offset Japanese competition and stimulate Dutch and indigenous business in the Netherlands Indies. Langkah tersebut dilakukan untuk melindungi pengusaha domestik dan untuk membendung invasi ekonomi Jepang. Kedua buah kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut kemudian baru dapat dilihat pada tahun 1939 ketika nilai investasi melonjak hingga 1,3 juta gulden. Tahun 1939 merupakan puncak keberhasilan kebijakan pemerintah untuk mengatasi krisis yang melanda sejak 1930.
Depresi ekonomi 1930 merupakan salah satu peristiwa sejarah yang dapat mengubah keadaan Hindia Belanda dan dunia. Melalui peristiwa ini, Jepang mulai mengadakan invasi ekonominya di wilayah Selatan. Sejak saat itu, sinyal perang dunia kedua kembali mulai dihidupkan oleh pasukan samurai dari utara.


Sumber:
1. Booth, Anne, dkk. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES.
2. Creutzberg, Pieter. 1987. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
3. Linblad, J Thomas. 1998. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia. Jakarta: LP3ES.
4. Linblad, J Thoma. 2002. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
5. Moh. Hatta. 1934. Krisis Ekonomi dan Kapitalisme. Batavia: Soetan Lembaq Toeah & Fa.
6. Richard, G Lipsey. 1986. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta: Bina Aksara.
7. van de Kerkhof, Jasper. (2005). Indonesianisasi of Dutch Economic Interests, 1930-1960 The case of Internatio. Nederland: BKI. Vol. 161. hlm. 183.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar