Istilah
disitu ada gula pasti ada semut sering kali kita dengar, mungkin ungkapan ini
muncul ditahun 1918-1930an. Ini mungkin loh ya, karena belum ada sumber sejarah
yang mengatakan demikian ini hanya kemungkinan saja. Pasca perang dunia I,
Hindia Belanda menerapkan kebijakan penanaman padi dengan skala besar karena
pada saat itu, harga beras sedang meningkat tajam. Kesempatan tersebut kemudian
dimanfaatkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengambil keuntungan
sebesar-besarnya. Akan tetapi kondisi tersebut tidak berlangsung lama.
Tepatnya, pada tahun 1920 harga komoditas dunia berubah.
Panen beras pada saat
itu sangatlah buruk. Untuk mencegah keadaan semakin memburuk, pemerintah
menghapus seluruh kebijakan pelarangan impor beras. Hal tersebut menandakan
bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak menganut ekonomi liberal secara murni.
Hal itu juga mengakibatkan Hindia Belanda mengalami krisis beras akibat
pemerintah mengalihkan perhatiannya ke beberapa komoditas yang sangat diminati
di Eropa. Selain itu, harga beras di pasar dunia memang sedang mengalami
penurunan dari tahun ke tahun hingga tahun 1940.
Lahan pertanian bahkan
terus mengalami penyusutan karena pemerintah lebih mementingkan penanaman komoditas
yang memiliki nilai jual tinggi di pasar dunia. Beberapa komoditas tersebut
antara lain gula, karet, teh, tembakau, kopi, kulit kina, kelapa sawit, dan
biji kelapa sawit. Hal ini dilirik oleh investor dunia untuk menanamkan
modalnya secara berlebih di bidang perkebunan. Pemerintah dengan kebijakannya
yang mengurangi produksi beras mengakibatkan munculnya berbagai gejolak-gejolak
di masyarakat. Produksi beras dikurangi, akan tetapi lahan pertanian ditanami
pohon-pohon tebu yang kemudian dialiri air melalui program irigasi dari politik
etis. Rakyat semakin menderita ditambah dengan adanya program wajib kerja di
perkebunan selama 12 hari dari setiap 35 hari.
Rakyat yang semakin
tertindas tidak dipedulikan oleh pemerintah Hindia Belanda dan kaum liberal. Mereka
menikmati keuntungan yang besar di tahun 1920 dan memproduksi komoditas dengan
skala besar untuk mendapatkan keuntungan. Di tahun 1920 pemerintah Hindia
Belanda dan kaum liberal menikmati masa kejayaan gula di Hindia Belanda. Kaum
liberal disini bukan hanya kelompok orang eropa yang menanamkan modalnya di
Hindia loh, akan tetapi juga para bangsawan yang memiliki pabrik-pabrik gula. Para
bangsawan ini juga mendapat perlawanan dari seorang tokoh nasional yaitu Cipto
Mangunkusumo yang membela rakyat Surakarta atas penindasan bangsawan dengan
cara kerja yang diupah jauh dibawah ketentuan pemerintah.
Kaum liberal yang
serakah dan menghisap darah rakyat memproduksi kebutuhan dunia dengan skala
besar. Bahkan M. H. Thamrin mengatakan bahwa pemerintah Hindia Belanda mengeruk
emas dengan lumuran darah rakyat Indonesia. Produksi yang berlebihan tersebut
mulai memunculkan tanda-tanda krisis sejak tahun 1925. Tanda tersebut diawali
dengan adanya gejolak politik di kalangan rakyat yang kemudian memuncak di
tahun 1927 dengan munculnya perlawanan PKI di berbagai daerah. Di tahun 1925,
barang-barang yang diproduksi tersebut mulai tertahan di pelabuhan-pelabuhan
karena tidak seimbangnya perhitungan arus barang dengan jumlah kapal-kapal
pengangkut. Di sisi lain secara politik, perlawanan PKI yang tidak terencana
dengan matang dan tidak melibatkan elemen-elemen gerakan nasionalis lain
mengakibatkan diterapkannya pasal karet 151 dan 161 yang mengandung inti bahwa
setiap kegiatan yang mengancam keamanan dan ketertiban harus segera ditindak
oleh pemerintah Hindia Belanda. Pasal ini kemudian mampu menginternir
pemimpin-pemimpin politik nasionalis salah satu diantaranya adalah Sukarno.
Pemerintah bahkan mengerahkan PID (Politiek Inlichtingen Dienst) atau intelijen
di bidang politik untuk mengawasi aktivitas politik bangsa Indonesia. Bahkan
dengan adanya PID, partai politik Indonesia menggunakan sarana pagelaran wayang
dalam menyalurkan propaganda kemerdekaannya agar tidak diketahui PID.
Pemerintah yang
menghadapi ancaman gerakan nasionalis yang sangat massif juga harus menghadapai
kenyataan kondisi ekonomi dunia di tahun 1930. Menurut Mohammad Hatta, krisis
yang terjadi di Hindia Belanda tidak terlepas dari kondisi ekonomi
Internasional. Ekonomi Internasional mengalami keruntuhan akibat adanya
persaingan bunga bank antara bank Amerika Serikat dengan bank Eropa. Persaingan
bunga tersebut dilakukan untuk menahan para investor untuk tidak meninggalkan
kedua wilayah tersebut. “Krisis bermoela di Amerika, karena disana system
kredit roeboeh lebih dahoeloe, dan kembang ke seloeroeh doenia. Krisis tersebut
menjalar ke berbagai negara antara lain runtuhnya bank kredit anstalt (wina),
Inggris, negara-negara skandinavia, Jepang, dan Hindia Belanda.”
Keadaan tersebut sangat
dirasakan oleh kaum buruh di kota, sedangkan masyarakat yang hidup di pedesaan
kurang merasakan dampak krisis ekonomi tersebut. Hal itu terjadi karena
masyarakat di wilayah pedesaan ternyata masih mengandalkan sistem barter bukan
dengan menggunakan uang. Kondisi di Brazil bahkan lebih menyedihkan karena Masyarakat
Brazil menjadikan berjuta-juta karung kopi atau gandum dipakai sebagai
pengganti batu arang untuk menjalankan pabrik, sebab barang-barang itu berlebih
terlalu banyak dan tidak dapat dijual dengan untung. Di Indonesia dan Amerika
khususnya di kalangan buruh beredar kalimat “Hari ini mungkin aku atau besok
kamu” kalimat itu muncul karena banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja yang
dilakukan oleh perusahaan.
Di tahun 1930, akibat
adanya depresi ekonomi lahirlah sebuah teori ekonomi yang terkenal yang
dicetuskan oleh Keynes. Menurut Keynes melalui model tingkah laku perekonomian
menjelaskan bahwa pada dekade 1930 dunia mengalami keadaan kelebihan penawaran
dan harga yang kaku. Penawaran yang berlebihan akibat dari kelebihan produksi
menyebabkan harga barang tersebut jatuh dan tidak mampu menutupi biaya
produksi. Hal itu disadari oleh pemerintah Hindia Belanda saat kondisi semakin
parah. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil langkah untuk membatasi
produksi yang dilakukan oleh perusahaan. Langkah tersebut kembali menunjukkan
bahwa pemerintah Hindia Belanda tidak konsisten dalam memilih jalan liberalisme
dan cenderung mengedepankan dualisme ekonomi. Untuk dapat keluar dari jerat
depresi ekonomi, maka pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan laissez-faire economic policies in an
attempt to offset Japanese competition and stimulate Dutch and indigenous
business in the Netherlands Indies. Langkah tersebut dilakukan untuk
melindungi pengusaha domestik dan untuk membendung invasi ekonomi Jepang. Kedua
buah kebijakan pemerintah Hindia Belanda tersebut kemudian baru dapat dilihat
pada tahun 1939 ketika nilai investasi melonjak hingga 1,3 juta gulden. Tahun
1939 merupakan puncak keberhasilan kebijakan pemerintah untuk mengatasi krisis
yang melanda sejak 1930.
Depresi ekonomi 1930
merupakan salah satu peristiwa sejarah yang dapat mengubah keadaan Hindia
Belanda dan dunia. Melalui peristiwa ini, Jepang mulai mengadakan invasi
ekonominya di wilayah Selatan. Sejak saat itu, sinyal perang dunia kedua
kembali mulai dihidupkan oleh pasukan samurai dari utara.
Sumber:
1. Booth, Anne, dkk. 1988. Sejarah Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES.
2. Creutzberg, Pieter. 1987. Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
3. Linblad, J Thomas. 1998. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia. Jakarta:
LP3ES.
4. Linblad, J Thoma. 2002. Fondasi Historis Ekonomi Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
5. Moh. Hatta. 1934. Krisis Ekonomi dan
Kapitalisme. Batavia: Soetan Lembaq Toeah & Fa.
6. Richard, G Lipsey. 1986. Pengantar Ilmu Ekonomi. Jakarta: Bina
Aksara.
7. van de Kerkhof,
Jasper. (2005). Indonesianisasi of
Dutch Economic Interests, 1930-1960 The case of Internatio. Nederland: BKI. Vol. 161. hlm. 183.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar