Sabtu, 05 Januari 2019

Max Havelaar, Terusan Suez, dan Hindia Belanda


Menurut Djoko Soekiman dalam Kebudayaan Indies, novel yang lahir di zamannya dapat dijadikan sebagai sumber primer dalam sejarah. Hal itu terjadi karena penulis melahirkan karyanya atas dasar pengalamannya. Tentu itu juga memiliki kelemahan karena unsur kunci dari novel adalah imajinasi. Novel karya Multatuli (Ernest Douwes Dekker) yang berjudul Max Havelaar saya gunakan sebagai alat perangsang imajinasi zaman.

Novel ini berhasil mengangkat imajinasi zaman saya untuk membantu merasakan jiwa zaman pada abad ke XIX. Novel ini secara umum menceritakan tentang penjual kopi di Belanda dan menggambarkan bagaimana cara menghasilkan kopi tersebut dari keringat para Kawula (rakyat kecil). Para kawula memberikan upeti kepada pejabat pribumi (bahkan seringkali kerbau milik penduduk dirampas), sedangkan pejabat pribumi kemudian memberikannya kepada penjajah. Dulu saya pernah mengatakan bahwa tidak adil jika kita mengatakan atau menyebutkan dosa suatu suku, agama, atau ras tertentu. Karena setiap suku, ras, dan agama tertentu pastilah melakukan dosa di masa lalu. Sehingga tidak elok jika sejarah digunakan sebagai alat pewaris dendam.
Multatuli menghadirkan sosok Saidjah yang dirampas hak-haknya oleh para pejabat pribumi yang mengabdi kepada penjajah. Sehingga kisah cinta Saidjah dan Adinda berakhir dengan kesedihan. Multatuli juga menggambarkan bahwa tidak semua “Londo” itu bengis, kejam, dan serakah. Akan tetapi ada beberapa “Londo” yang juga memiliki jiwa humanis dan bahkan mencintai tanah Hindia yang begitu elok. Salah satunya Max, seorang tokoh yang ada dalam novel ini. Sebenarnya max merupakan wujud dari Ernest Douwes Dekker di dalam kehidupan nyata. Novel ini sangat Booming pada tahun 1860an, banyak para akademisi yang sekolah di jurusan indologi (Jurusan yang khusus mempelajari tentang Hindia Belanda) di salah satu kampus ternama mengkajinya. Bahkan Douwes Dekker menantang orang-orang yang tidak percaya akan karyanya untuk membuktikan dan melihat apa yang terjadi di tanah Hindia khususnya Lebak, Banten.
Novel Max Havelaar tidak hanya dikaji oleh mahasiswa Indologi, akan tetapi para politisi dari golongan Liberal juga membicarakannya dalam Staaten Generaal (Parlemen Belanda). Pada tahun 1866, proposal Gubernur Jendral Van Twist mendarat di Staten Generaal dan menjadi pembahasan yang mendalam. Proposal ini berisi agar pemerintah Belanda membentuk Dewan Kota untuk mengawasi perputaran uang yang terjadi di tiga buah pelabuhan besar, yaitu Surabaya, Batavia, dan Semarang. Pemerintah kemudian menanggapinya dengan cara membuat komite penyelidikan dan menghasilkan keputusan bahwa pejabat pribumi belum cakap dan di sisi lain pejabat pribumi menolak karena dapat mengganggu “kenikmatannya” dalam berfoya-foya. Pada tahun 1869 terusan suez dibuka, terusan suez memberikan kesempatan bagi orang-orang Belanda untuk membuktikan karya Multatuli. Terusan Suez dapat memotong waktu tempuh orang-orang eropa yang ingin ke Hindia Belanda, sehingga kedatangan para ilmuwan dan para birokrat serta serdadu Belanda datang dengan berbagai macam kepentingan.
Laporan-laporan para ilmuwan yang membenarkan karya Multatuli sampai ke tangan politisi Liberal. Sehingga hal itu dapat dijadikan sebagai alat penentu kebijakan. Tidak lama kemudian, tepatnya tahun 1870 lahirlah UU Agraria dan ini merupakan simbol kemenangan awal partai Liberal. Investasi dari swasta datang berduyun-duyun dan Hindia Belanda memulai era industrialisasi yang sangat besar terutama di bidang perkebunan. Sebenarnya industrialisasi telah dimulai sejak VoC runtuh, akan tetapi proses tersebut berjalan dengan sangat lambat karena pemerintah fokus terhadap kebijakan Culturestelsel.
Terusan Suez yang merupakan pintu gerbang baru yang dapat memotong jarak tempuh membawa Hindia Belanda ke arah industrialisasi yang lebih cepat. Tidak heran jika kemudian banyak dibangun perkebunan-perkebunan yang sangat luas. Salah satunya adalah perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur. Sedikit banyak, pemerintah juga melindungi para pelaku bisnis dengan cara menyediakan tenaga kerja yang dikirim ke Deli dan dibentuknya Koeli Ordonantie serta pembangunan alat transportasi angkut. Di sisi lain, pemerintah membentuk perusahaan opium yang kemudian dipasarkan kepada para pekerja di perkebunan. Sehingga, roda perputaran uang berjalan dan para pekerja perkebunan menghabiskan uangnya untuk membeli opium. Hal itu mengakibatkan mereka tidak dapat memperbaiki hidupnya. Kondisi tersebut membuat banyak pekerja yang melarikan diri, pekerja yang tertangkap kemudian dihukum oleh pemilik perkebunan atau dibawa ke meja pengadilan dengan jeratan Koeli Ordonantie. Mohammad Hatta, dalam kesaksiannya menjelaskan bahwa hukuman diberikan dengan cara berbaris kemudian orang pertama diberikan hukuman satu bulan penjara, orang kedua diberikan hukuman dua bulan penjara, orang ketiga diberikan hukuman tiga bulan penjara dan seterusnya. Mereka diberikan hukuman sesuai dengan urutan baris.

Sumber:
  1. Max Havelaar
  2.  Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia
  3. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia
  4. Autobio Hatta
  5. Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional
  6. Colonial Policy


Tidak ada komentar:

Posting Komentar