Menurut Djoko Soekiman
dalam Kebudayaan Indies, novel yang lahir di zamannya dapat dijadikan sebagai
sumber primer dalam sejarah. Hal itu terjadi karena penulis melahirkan karyanya
atas dasar pengalamannya. Tentu itu juga memiliki kelemahan karena unsur kunci
dari novel adalah imajinasi. Novel karya Multatuli (Ernest Douwes Dekker) yang
berjudul Max Havelaar saya gunakan sebagai alat perangsang imajinasi zaman.
Novel ini berhasil
mengangkat imajinasi zaman saya untuk membantu merasakan jiwa zaman pada abad
ke XIX. Novel ini secara umum menceritakan tentang penjual kopi di Belanda dan
menggambarkan bagaimana cara menghasilkan kopi tersebut dari keringat para
Kawula (rakyat kecil). Para kawula memberikan upeti kepada pejabat pribumi
(bahkan seringkali kerbau milik penduduk dirampas), sedangkan pejabat pribumi
kemudian memberikannya kepada penjajah. Dulu saya pernah mengatakan bahwa tidak
adil jika kita mengatakan atau menyebutkan dosa suatu suku, agama, atau ras tertentu.
Karena setiap suku, ras, dan agama tertentu pastilah melakukan dosa di masa
lalu. Sehingga tidak elok jika sejarah digunakan sebagai alat pewaris dendam.
Multatuli menghadirkan
sosok Saidjah yang dirampas hak-haknya oleh para pejabat pribumi yang mengabdi
kepada penjajah. Sehingga kisah cinta Saidjah dan Adinda berakhir dengan
kesedihan. Multatuli juga menggambarkan bahwa tidak semua “Londo” itu bengis,
kejam, dan serakah. Akan tetapi ada beberapa “Londo” yang juga memiliki jiwa
humanis dan bahkan mencintai tanah Hindia yang begitu elok. Salah satunya Max,
seorang tokoh yang ada dalam novel ini. Sebenarnya max merupakan wujud dari
Ernest Douwes Dekker di dalam kehidupan nyata. Novel ini sangat Booming pada
tahun 1860an, banyak para akademisi yang sekolah di jurusan indologi (Jurusan
yang khusus mempelajari tentang Hindia Belanda) di salah satu kampus ternama
mengkajinya. Bahkan Douwes Dekker menantang orang-orang yang tidak percaya akan
karyanya untuk membuktikan dan melihat apa yang terjadi di tanah Hindia
khususnya Lebak, Banten.
Novel Max Havelaar
tidak hanya dikaji oleh mahasiswa Indologi, akan tetapi para politisi dari
golongan Liberal juga membicarakannya dalam Staaten Generaal (Parlemen Belanda).
Pada tahun 1866, proposal Gubernur Jendral Van Twist mendarat di Staten
Generaal dan menjadi pembahasan yang mendalam. Proposal ini berisi agar
pemerintah Belanda membentuk Dewan Kota untuk mengawasi perputaran uang yang
terjadi di tiga buah pelabuhan besar, yaitu Surabaya, Batavia, dan Semarang.
Pemerintah kemudian menanggapinya dengan cara membuat komite penyelidikan dan
menghasilkan keputusan bahwa pejabat pribumi belum cakap dan di sisi lain
pejabat pribumi menolak karena dapat mengganggu “kenikmatannya” dalam
berfoya-foya. Pada tahun 1869 terusan suez dibuka, terusan suez memberikan
kesempatan bagi orang-orang Belanda untuk membuktikan karya Multatuli. Terusan
Suez dapat memotong waktu tempuh orang-orang eropa yang ingin ke Hindia
Belanda, sehingga kedatangan para ilmuwan dan para birokrat serta serdadu
Belanda datang dengan berbagai macam kepentingan.
Laporan-laporan para
ilmuwan yang membenarkan karya Multatuli sampai ke tangan politisi Liberal.
Sehingga hal itu dapat dijadikan sebagai alat penentu kebijakan. Tidak lama
kemudian, tepatnya tahun 1870 lahirlah UU Agraria dan ini merupakan simbol
kemenangan awal partai Liberal. Investasi dari swasta datang berduyun-duyun dan
Hindia Belanda memulai era industrialisasi yang sangat besar terutama di bidang
perkebunan. Sebenarnya industrialisasi telah dimulai sejak VoC runtuh, akan
tetapi proses tersebut berjalan dengan sangat lambat karena pemerintah fokus
terhadap kebijakan Culturestelsel.
Terusan Suez yang
merupakan pintu gerbang baru yang dapat memotong jarak tempuh membawa Hindia
Belanda ke arah industrialisasi yang lebih cepat. Tidak heran jika kemudian
banyak dibangun perkebunan-perkebunan yang sangat luas. Salah satunya adalah
perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Timur. Sedikit banyak, pemerintah juga
melindungi para pelaku bisnis dengan cara menyediakan tenaga kerja yang dikirim
ke Deli dan dibentuknya Koeli Ordonantie serta pembangunan alat transportasi
angkut. Di sisi lain, pemerintah membentuk perusahaan opium yang kemudian
dipasarkan kepada para pekerja di perkebunan. Sehingga, roda perputaran uang
berjalan dan para pekerja perkebunan menghabiskan uangnya untuk membeli opium.
Hal itu mengakibatkan mereka tidak dapat memperbaiki hidupnya. Kondisi tersebut
membuat banyak pekerja yang melarikan diri, pekerja yang tertangkap kemudian
dihukum oleh pemilik perkebunan atau dibawa ke meja pengadilan dengan jeratan
Koeli Ordonantie. Mohammad Hatta, dalam kesaksiannya menjelaskan bahwa hukuman
diberikan dengan cara berbaris kemudian orang pertama diberikan hukuman satu
bulan penjara, orang kedua diberikan hukuman dua bulan penjara, orang ketiga
diberikan hukuman tiga bulan penjara dan seterusnya. Mereka diberikan hukuman
sesuai dengan urutan baris.
Sumber:
- Max Havelaar
- Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia
- Sejarah Ekonomi Modern Indonesia
- Autobio Hatta
- Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional
- Colonial Policy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar