Jumat, 15 Februari 2019

Mohammad Husni Thamrin (Mat Seni)


Mohammad Husni Thamrin lahir di Sawah Besar, 16 Februari 1894 dari pasangan Thamrin Mohammad Tabrie (Bibit) dan Noerhamah. Thamrin Mohammad Tabrie merupakan seorang Indo yang memiliki ayah yang berasal dari Inggris dan bernama George Anton Ort dengan seorang nyai. Menurut pradipto niwandhono, Tabrie merupakan golongan pertama hasil dari perkawinan dengan nyai dan disebut liplap, sedangkan Thamrin yang merupakan garis keturunan kedua disebut grobiak. Tabrie kecil pada saat itu ingin dibawa oleh ayahnya ke Inggris agar mendapatkan kewarganegaraan inggris. Akan tetapi ayahnya meninggal terlebih dahulu dan Tabrie diasuh oleh Mohammad Tabrie. George Anton Ort juga meninggalkan sebuah hotel mewah pada saat itu yaitu hotel Ort De Rijwick Batavia yang kemudian dikelola oleh temannya.

Noerhamah, ibu dari Mohammad Husni Thamrin merupakan keturunan Said dari Kampung Ketapang. Pernikahan Thamrin Mohammad Tabrie dengan Noerhamah menghasilkan Muainun, Mohammad Makmun, Sarah, M. H. Thamrin, Abdul Fatah, Mohammad Mansoer. Pada saat itu, Tabrie memangku jabatan sebagai seorang adjuncthofd-djaksa pada landraad Batavia sejak 1894. Jabatan yang diamanahkan kepada Bibit merupakan jabatan terbuka dan tertinggi kedua bagi orang Indonesia. Karena kebiasaan masyarakat betawi menyingkat nama agar mudah, maka ibunya selalu memanggilnya dengan sebutan Mat Seni. Thamrin kecil memulai pendidikannya di Bijbelschool dan kemudian mengganti namanya menjadi Jacob. Penggantian nama tersebut ditujukan agar M. H. Thamrin dapat diterima di sekolah eksklusif Instituut Bos dan melanjutkannya di Koning Willem Drie yang sekarang menjadi bagian dari Perpustakaan Nasional. Perubahan nama M. H. Thamrin menjadi Jacob hanya bertujuan agar dapat masuk ke sekolah yang lebih berkualitas tanpa merubah keimanannya.
Thamrin kecil mudah bergaul dengan berbagai macam latar belakang yang dimiliki temannya. Akan tetapi dia memiliki kedekatan dengan teman-teman yang berada di sekitaran sungai ciliwung yang mayoritas merupakan rakyat Indonesia. Bahkan Thamrin pada saat itu seringkali kehilangan temannya akibat penyakit malaria yang merenggut nyawa temannya. Thamrin dewasa kemudian melanjutkan karirnya di Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) sebagai klerek atau juru tulis. Pada saat inilah, Thamrin berkesempatan bertemu dengan Van Der Zee yang berasal dari ISDP (Indische Sociaal Democratische Partij). Thamrin seringkali bertukar pikiran dengan Van Der Zee terkait kondisi rakyat betawi.
Suatu ketika, Van Der Zee berpidato tentang rakyat betawi dan mengusulkan agar dibangunnya bendungan ciliwung. Usul tersebut berasal dari Thamrin dan kemudian nama Thamrin mulai dikenal di dunia politik. Tahun 1919, Thamrin berhasil duduk di gemeenteraad (Dewan Kota) di usia 25 tahun. Pada saat diangkat, Thamrin berpidato:
...yang sebenarnya saya inginkan terwujud. Sejak kecil, walaupun saya anak wedana, saya senantiasa bergaul dengan anak-anak rakyat jelata. Sejak kecil saya dihadapkan kepada kenyataan-kenyataan pahit kehidupan kawan-kawan saya. Banjir yang menimbulkan kemelaratan dan penyakit. Saya melihat sendiri betapa sahabat saya mati karena malaria. Sayapun tidak merasa sepertinya bila emak sahabat saya mencuci beras dengan air kali yang kecoklat-coklatan.
           Saya melihat sendiri betapa becek kampong dan jalan-jalan di kampong-kampung tempat saya bermain. Betapa gelap di malam hari karena tidak ada penerangan.
Saya ingin semuanya itu berubah. Jalan-jalan menjadi jalan aspal. Banjir ditiadakan, air minum hendaknya air yang bersih, kesehatan hendaknya dapat dipelihara. Jalan mendapat lampu penerangan....
Pidato pertamanya mampu menarik simpati dari berbagai pihak dan menyatakan dukungannya terhadap pemikiran M. H. Thamrin. Thamrin seringkali menyoroti anggaran yang hanya diperuntukan bagi golongan eropa sedangkan rakyat betawi tidak menikmati pembangunan jalan dan penerangan. Sehingga banyak kampung-kampung yang kotor dan gelap. Perjalanan asmara thamrin tidak semulus perjalanan politiknya. Thamrin menikah sebanyak tiga kali dan terakhir menikah dengan nyi otoh arwati pada tahun 1924. Thamrin kemudian masuk menjadi anggota Volksraad pada tahun 1927 menggantikan Soetomo yang menolak tawaran menjadi anggota Volksraad.
Kiprah Thamrin di dalam Volksraad sangatlah cemerlang dan bahkan dikenal sebagai singa podium. Thamrin mampu mendesak pemerintah Hindia Belanda untuk berangsur-angsur menghapus koeli ordonantie dan poenale sanctie. Suara Thamrin bahkan dibawakan oleh ketua bidang buruh di Liga Bangsa-Bangsa. Thamrin mendirikan Fraksi Nasional pada tanggal 27 Januari 1930 dengan tujuan utama mencapai kemerdekaan Indonesia dengan jalan yang sah. Sayap politik ini bahkan menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat perjuangan politik untuk mencapai kemerdekaan. Thamrin juga kerapkali memberikan peringatan bagi pemerintah Hindia Belanda terkait kondisi bangsa Indonesia yang semakin parah. Thamrin pernah mengingatkan bahwa di kalangan masyarakat telah dikenal istilah Djintan (Produk obat batuk murah dari Jepang). Istilah itu kemudian diartikan Djendral Japan Itoe Nanti Toeloeng Anak Negeri. Hal itu ada karena masyarakat tidak terlepas dari ramalan jayabaya yang mengatakan bahwa Indonesia akan merdeka setelah dijajah oleh orang kate.
Pernyataan-pernyataannya dan garis partai politik Parindra dimana Thamrin menjabat sebagai ketua bidang politik menjadikannya dalam pengawasan PID. Parindra secara tegas menyatakan dukungannya kepada fasisme Jepang sebagai jalan menuju kemerdekaan. Hal itu menjadikan alasan pemerintah Hindia Belanda untuk menggeledah rumah Thamrin. Dalam penggeledahan tersebut, PID berhasil menemukan surat-surat Thamrin yang berhubungan dengan Jepang. Penggeledahan tersebut dilakukan karena pemerintah Hindia Belanda telah terdesak oleh Jepang dan Thamrin dituduh sebagai bagian dari mata-mata Jepang. Dalam penggeledahan tersebut, Thamrin sedang mengalami sakit panas yang tinggi dan membuatnya tidak dapat bertahan. Singa podium meninggal pada tanggal 11 Januari 1941.

Sumber:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar