Depresi ekonomi yang terjadi di
tahun 1930 merupakan pintu masuk jepang untuk merebut hati rakyat Indonesia. Di
tengah mahalnya harga sembako dan merebaknya berbagai macam penyakit. Pedagang
sekaligus mata-mata jepang menjual berbagai macam kebutuhan hidup rakyat dengan
harga yang sangat murah. Jendral hoegeng di masa kecilnya memberikan kesaksian
bahwa terdapat salah seorang jepang yang memiliki usaha toko kelontong dengan
harga murah kemudian ketika jepang datang, orang itu merupakan salah satu
perwira tinggi angkatan laut jepang. Tidak hanya itu, mata-mata jepang
juga banyak yang menyamar sebagai jurnalis.
Salah satu produk yang sangat disukai oleh rakyat Indonesia
adalah obat batuk bermerk Djintan. Kemudian obat batuk ini dipanjangkan artinya
menjadi Djendral Japan Itoe Nanti Toeloeng Anak Negeri. Masyarakat Indonesia
mengartikannya bukan sembarangan, mereka mengartikannya berdasarkan kekuatan
ramalan Jayabaya. Ramalan ini tidak hanya dipercaya oleh masyarakat biasa, akan
tetapi juga dipercaya elite politik sekelas Soekarno dan M. H. Thamrin.
Lirikan jepang ke wilayah selatan memang patut dicermati
jika negeri induk paham benar situasi geopolitik dunia. Negeri induk hanya
paham bagaimana cara mendapatkan uang dari tanah Hindia dan tidak peduli
ancaman yang ada. Di dalam sidang Volksraad, kelompok fraksi nasional sudah
kerapkali memberikan peringatan kepada pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda yang tidak mau ambil pusing hanya
mengajukan usulan agar diadakannya indie weebaar. Ya benar usul ini sama persis
dengan tahun 1918 ketika perang dunia 1 mengancam. Pembahasan ini memang sama
persis dengan tahun 1918 dimana kelompok sayap kanan VC (Vanderlandsche Club)
menolak memberikan senjata kepada bangsa Indonesia. Hal itu tentu saja diserang
oleh Fraksi Nasional dengan mengatakan bahwa nasib tentara angkatan laut bangsa
Indonesia hanya menjadi tukang kebersihan kapal!
Di tahun 1930 hingga 1942 perdebatan di Volksraad sungguh
amat sangat panas. Bangsa Indonesia yang diwakili oleh Fraksi Nasional diserang
dengan kata-kata "makan dulu baru politik-politiken. Hal itu dibalas
dengan pernyataan bangsa Indonesia akan keluar dari parlemen (kejadian ini
muncul pasca munculnya slogan-slogan Indonesia Berparlemen)
Jepang yang melihat keadaan Indonesia memberikan sebuah kode
penyerbuan yang bocor di salah satu koran lokal. Salah satu perwira Jepang
mengatakan bahwa wilayah selatan yang mulai melemah akan menjadi salah satu
bagian nippon. Sayang, kode ini tidak ditangkap oleh pemerintah Hindia Belanda
sehingga wilayah pendaratan pasukan Jepang dengan sangat mudah dikuasai.
Jepang dengan semangat mempersatukan dan membangkitkan
bangsa Asia berhasil mempengaruhi Parindra (Partai Indonesia Raya). Parindra
dalam majalahnya yaitu Soeara Parindra secara terang-terangan mendukung fasisme
jepang. Parindra terpengaruh oleh ramalan jayabaya, sedangkan disisi lain
terdapat beberapa tokoh yang menolak fasisme jepang. Salah satunya adalah Ki
Hajar Dewantara yang mengirimkan surat kepada M. H. Thamrin yang pada saat itu
menjabat sebagai ketua fraksi nasional, wakil ketua volksraad, dan ketua bidang
politik parindra. Ki Hajar Dewantara dalam suratnya mengatakan bahwa jangan
sampai kekuatan rakyat jatuh ke jepang atau belanda. Kita harus memperkuat
persatuan untuk mencapai kemerdekaan. pada periode ini elite politik bangsa
Indonesia memang terbagi menjadi dua yaitu pendukung jepang dan penolak jepang.
Sumber:
Surat Ki Hajar Dewantara pada tanggal 16
Mei 1940
Majalah Soeara Parindra
Otobiografi Jendral Hoegeng Iman Santoso
Jejak Intel Jepang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar