Petani dewasa ini seakan tidak memiliki
masa depan yang baik. Dewasa ini bahkan para pemuda tidak lagi ingin menjadi
seorang petani yang juga merupakan pejuang pangan bangsa. Tulisan ini pun
berangkat dari obrolan penulis dengan seorang petani sekaligus sarjana
pendidikan yang sedang mencari pekerjaan.
Bagi penulis, tinggal di desa adalah
sebuah keindahan. Di desa, tidak ada kata pengangguran karena lahan dan apapun
yang ada di tanah sendiri dapat dimaksimalkan dengan baik, sangat berbeda
dengan keadaan di kota. Di kota, seseorang memiliki lahan seluas 60 meter saja
untuk tinggal sudah sangat disyukuri. Akan tetapi lahan itu hanya cukup untuk
tinggal dan tidak dapat diolah. Oleh sebab itu, kata pengangguran hanya ada di
kota, bukan di desa.
Akan tetapi cara pandang masyarakat kita
dewasa ini tetaplah sama, yaitu lebih baik menjadi jongos perusahaan dari pada
mandiri bertani. Seorang sarjana akan dianggap rendah apabila pada akhirnya dia
hanya bercocok tanam. Ya begitulah cara pandang masyarakat kita. Mereka tidak
berpikir apabila petani tidak ada bagaimana kelanjutan hidup mereka. Sedangkan
mereka selalu merendahkan pekerjaan seorang petani. Kemudian nanti apabila
pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras, mereka semua protes
sekencang-kencangnya. Padahal mereka sendiri merendahkan pekerjaan pejuang
pangan bangsa.
Sudut pandang tersebut sebenarnya dapat
diubah oleh pemerintah sekaligus petani itu sendiri dan bahkan akademisi pun
dapat berkontribusi dengan baik jika mereka tidak memikirkan kepentingan perut
sendiri. Pemerintah dalam hal ini dapat memaksimalkan keberadaan koperasi unit
desa dengan cara membeli beras petani dengan harga yang mendekati pasaran.
Koperasi unit desa dalam hal ini tidak boleh bertindak seperti layaknya
tengkulak. Berdasarkan data yang diberikan oleh BPS melalui infografis yang
disampaikan melalui akun twitter @BPS_Statistics, harga beras ditempat
penggilingan dengan harga terendah yaitu 8.380/kg sedangkan untuk harga
tertinggi yaitu 9.444/kg. Harga itu akan berubah di setiap kota apabila
masyarakat membeli beras di toko-toko kelontong. Misalkan harga beras terendah
di kota Surakarta adalah 9.500/kg dan tertinggi seharga 12.000/kg. Harga
tersebut akan sangat berbeda jika masyarakat membelinya di kota besar. Hal itu
terjadi karena ukuran yang ditentukan dalam membeli beras di kota besar
bukanlah kilogram, akan tetapi liter. Berdasarkan data tersebut, karena adanya
tengkulaklah keadaan petani dewasa ini tidak dapat berkembang dengan pesat dan
menjadi sebuah pekerjaan yang terpandang.
Selain dari pemerintah, kelompok tani
juga dapat mendirikan sebuah koperasi yang berfungsi untuk memasarkan hasil
tani mereka. Hal itu dilakukan untuk memutus mata rantai distribusi yang selama
ini terdapat peran tengkulak di dalamnya. Jika petani berperan sebagai produsen
sekaligus distributor, maka keadaan ekonomi petani akan semakin baik. Tentunya
peran tersebut dapat dilaksanakan melalui koperasi yang juga memiliki sistem
yang baik. Sistem ini dapat didukung dan dikembangkan oleh akademisi untuk
menunjang dua buah peran yang akan dijalankan oleh petani. Sistem koperasi
tersebut tidak dijalankan secara langsung oleh petani akan tetapi mempekerjakan
beberapa orang yang bertugas untuk memasarkan hasil pertanian. Sehingga posisi
petani adalah anggota koperasi, produsen, dan juga bos koperasi. Sedangkan
pengurus koperasi yang bertugas untuk memasarkan berkewajiban untuk membagi
hasil dari penjualan tersebut kepada anggota koperasi. Pengurus koperasi
berperan sebagai pengganti tengkulak, akan tetapi pengurus koperasi tidak
berhak membeli hasil pertanian dari anggotanya. Tugas utama pengurus koperasi
adalah memasarkan dan kemudian hasil yang diperoleh akan dibagikan kepada
petani.
Koperasi yang seperti itu merupakan
koperasi yang menguntungkan bagi pengurus sekaligus anggotanya, tidak seperti
sekarang ini. Koperasi didirikan hanya untuk menguntungkan pengurusnya melalui
kredit-kredit yang diberikan kepada anggotanya sendiri. Jika seperti itu apa
bedanya koperasi dengan lintah darat di desa-desa? Bahkan seorang menurut
Professor Sritua Arief dalam bukunya yang berjudul ekonomi kerakyatan mengenang
bung Hatta mengatakan bahwa koperasi dewasa ini ada hanya untuk memenuhi
tuntutan Undang-Undang. Akan tetapi kehilangan ruhnya yang memiliki jiwa
kebersamaan dan kekuatan dari dalam diri sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar