Pilkada serentak kali
ini pada tahun 2017 memang begitu gegap gempita, terutama wilayah DKI Jakarta.
Untuk Pilkada kali ini penulis mengikutinya melalui dunia sosial media terutama
twitter dan Kabupaten Bekasi juga ikut serta dalam Pilkada serentak ini.
Penulis pada saat pemungutan suara tidak menggunakan hak pilihnya karena
keterbatasan ekonomi sehingga tidak bisa pulang ke daerah asal.
Pilkada Kabupaten
Bekasi terasa seperti tertutup oleh pemberitaan media massa yang
mengeksploitasi Pilkada DKI Jakarta. Pilkada DKI Jakarta mengalami proses
pemilihan dua kali putaran, sehingga emosi pendukung dan pemilih yang belum
menentukan pilihannya di hari H pencoblosan terus diolah oleh media. Hal itu
bahkan terasa sangat melelahkan dan membosankann karena berita media televisi
hanya dipenuhi oleh Pilkada DKI Jakarta.
Media televisi yang
membosankan berbanding terbalik dengan media sosial. Dunia media sosial
khususnya twitter memberikan informasi yang sangat cepat dan dari lokasi
kejadian. Pertarungan politik ini membuat masyarakat terpancing oleh beberapa
peristiwa. Beberapa peristiwa itu diantaranya adalah intoleransi, makar dan
kasus penistaan agama. Makar dan penistaan agama bagi penulis adalah sebuah
proses hukum yang harus dijalankan sebagaimana seharusnya dan menegakkan
prinsip keadilan siapapun yang salah, maka jatuhkan vonis sesuai peraturannya,
tanpa memandang bulu.
Peristiwa intoleransi
ini yang merupakan kejadian yang penulis anggap sebagai peristiwa yang sangat
membahayakan. Tanggal 18 April 2017, tepat sebelum hari H pencoblosan penulis
melihat akun pandjipragiwakso yang mengecam sebuah tindakan yang memang tidak
pantas dilakukan oleh pemuka agama. Video yang dikecam tersebut berisi
penghinaan terhadap salah satu pasangan calon. Dalam video itu pembicara
mengatakan bahwa “pasangan nomer 2 anjing, pasangan nomer 3 anies sandi jadi
kalau manusia pilih nomer 3”. Tindakan tersebut dilakukan di depan anak-anak
kecil dan bahkan dalam sebuah kegiatan keagamaan. Penulis sengaja menulisnya
sebagai pembicara bukan pemuka agama, karena agama apapun akan mengajarkan cara
memanusiakan manusia.
Pilkada DKI Jakarta
yang sangat panas juga dimanfaatkan oleh beberapa akun penyebar hoax untuk
mengambil banyak keuntungan. Mereka membuat banyak berita hoax tentang
orang-orang yang terlibat dalam Pilkada tersebut. Berdasarkan penjelasan
seorang teman yang memiliki sebuah blog yang cukup terkenal mengatakan bahwa
“jika semakin banyak orang yang mengakses blog kamu, nanti kamu akan mendapatkan
banyak keuntungan melalui google”. Orang-orang penyebar hoax memiliki tujuan
meraup keuntungan agar banyak orang yang mengunjungi blog mereka.
Mereka tidak sadar
bahwa mereka sedang menanamkan bibit kebencian terhadap sesama anak bangsa.
Salah satu berita hoax yang pernah hangat dibicarakan adalah isu tenaga asing
dari china yang datang dengan jumlah sepuluh juta tenaga asing. Berita hoax itu
segera dibantah oleh pihak imigrasi dengan mengatakan bahwa tenaga kerja asing
china di Indonesia hanya sebesar 10.000 orang. Informasi tersebut berusaha
penulis gali melalui teman yang seringkali jalan-jalan ke luar negeri. Teman
penulis mengatakan bahwa memang isu itu tidak benar karena sepuluh juta tenaga
asing itu sebenarnya target turis china yang berkunjung ke Indonesia.
Isu tersebut bahkan
melunturkan kepercayaan kita terhadap etnis tionghoa Indonesia. Penebar berita
hoax memang tidak paham akan efek yang diberikan, mereka hanya paham tentang
keuntungan diri atau kelompoknya sendiri. Mereka tidak sadar bahwa yang membaca
tulisan mereka tidak hanya orang dewasa akan tetapi anak-anak yang belum
mengerti apa-apa juga membacanya. Anak-anak yang tidak mengerti apa-apa itu
akan tertanam didalam otaknya bahwa etnis atau agama tertentu adalah musuh
bersama. Mereka tidak sadar akan menghancurkan kesatuan dalam perbedaan yang
telah dibangun oleh para pendiri bangsa.
Penulis yakin bahwa
orang-orang yang membuat berita hoax serta ujaran kebencian bukanlah dari salah
satu pendukung pasangan calon. Hal itu muncul karena adanya pertarungan politik
yang membabi-buta di masyarakat awam, sehingga bibit kebencian itu tumbuh.
Penulis yakin elite politik yang bertarung tidak memerintahkan agar dibuatkan
isu tertentu untuk mendapatkan simpati. Akan tetapi isu tersebut muncul dari
masyarakat tanpa komando dari elite politik. Hal itu muncul di masyarakat
karena bibit kebencian yang telah tertanam sejak Pilpres 2014.
Semoga setelah
terpilihnya pemimpin baru kepala daerah, seluruh pendukung dari masing-masing
pasangan calon dapat bergandengan tangan kembali untuk ikut serta membangun
rumah kita ini, Indonesia. Bagi penulis memilih pemimpin adalah memilih orang
yang mampu mengelola sumber daya (pajak) bagi kesejahteraan bersama. Jika
pemimpin tersebut diganggu oleh urusan pertarungan politik bagimana tujuan
politik tersebut dapat terwujud. Penulis mengutip pesan dari bung Hatta “Saya
berharap pula, supaya saya jangan dipandang sebagai pemimpin yang
didewa-dewakan, melainkan pandanglah saya sebagai salah seorang dari saudara,
yang bekerja bersama-sama dengan saudara-saudara untuk memperbaiki nasib
rakyat, nasib kita semuanya. Saya mempunyai keyakinan, bahwa tidak pemimpin,
berapa juga pintarnya dan mampunya, melainkan rakyat sendiri yang cakap
memperbaiki nasibnya. Buruk baik, tinggi rendahnya derajat Indonesia, itu
semuanya ada pada tangan-tangan saudara segenapnya, dalam tangan rakyat jelata”[1]
Mari kita sudahi
pertarungan politik ini, mari sudahi pembibitan kebencian hanya karena
perbedaan pilihan. Penulis menganalogikan bahwa memilih pemimpin sama dengan
memilih istri, jika kita memilih si A sebagai istri kita, mengapa teman kita
harus memaksakan kepada kita agar kita menikah dengan si B? Pesta demokrasi
sudah usai mari saatnya membangun Indonesia sesuai dengan pesan bung Hatta.
Kita yang telah memilih pemimpin juga harus mengingatkan jika pemimpin tersebut
sudah mulai salah arah dan wajib memujinya jika dia mendapatkan sebuah
prestasi. Bukan terus memujanya meskipun dia melakukan kesalahan dan menutupi
kesalahannya. Pesan yang juga bermanfaat dari bung Hatta bagi kita yang
dihantam persemaian bibit kebencian adalah “Saudaraku orang Banjar, Saudaraku
orang Samarinda, Saudaraku orang Pontianak, janganlah engkau masing-masing
berkata: Aku orang Banjar, Aku orang Samarinda, Aku orang Dayak, Aku orang Pontianak.
Engkau masing-masing bukan orang Banjar, bukan orang Dayak, bukan orang
Pontianak. Engkau tak lain, melainkan orang Indonesia, orang Indonesia
semata-mata. Bukan Banjar, Bukan Samarinda, Bukan daerah Dayak, Bukan Pontianak
tanah airmu. Tanah airmu lebih luas, membujur di khatulistiwa dan mengisi
lapangan dunia yang panjangnya seperdelapan lingkaran bumi. Engkau mempunyai
tanah air besar!”[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar