Shalat
jumat pada saat itu, khotib memberikan ceramahnya tentang kesabaran. Khotib
mencontohkan sebuah peristiwa yang terjadi pada masa kehidupan nabi besar
Muhammad SAW. Seorang sahabat pada saat itu dihina dan direndahkan oleh
seseorang. Hinaan tersebut terjadi sebanyak tiga kali dan disaksikan oleh nabi
Muhammad SAW. Pada saat hinaan ketiga terjadi, sahabat marah dan berusaha
membalasnya dengan kekuatan fisik. Akan tetapi nabi Muhammad SAW berdiri.
Ketika
nabi Muhammad berdiri, sahabat pun bertanya “Apakah baginda nabi marah
kepadaku?”, nabi Muhammad SAW pun menjawab “Tidak, sesungguhnya sebelum kamu
marah, aku melihat malaikat menaungimu. Akan tetapi, ketika kamu marah, aku
melihat banyak sekali setan disekitarmu, dan aku tidak dapat berdiam diri
ketika setan datang.”
Peristiwa
ini menunjukkan bahwa umat Islam harus memiliki hati yang tenang dan sabar.
Kemudian timbul pemikiran dari penulis bahwa Islam memang diturunkan di tanah
arab dengan tujuan untuk memperbaiki akhlak masyarakat arab. Sedangkan mengapa
dewasa ini, bangsa Indonesia dijadikan sebagai negara yang memiliki jumlah
muslim terbanyak di dunia? Menurut penulis, hal itu disebabkan karena ALLAH
ingin menunjukkan bahwa muslim sejati di dunia ini adalah muslim Indonesia yang
selalu menjaga kelembutan hati dan kesabarannya serta mampu ikut menjaga
perdamaian dunia. Hal itu menunjukkan bahwa muslim Indonesia haruslah menjadi
contoh bagi seluruh umat muslim di dunia.
Muslim
Indonesia sejatinya mampu menjaga keberagaman yang ada di negerinya, tidak
seperti di timur tengah yang saling menumpahkan darah. Muslim Indonesia paham
bahwa keberagaman diciptakan untuk dapat saling mengenal dan mewarnai dunia.
Bukanlah seorang muslim dan bukanlah seseorang yang memiliki agama apabila
memiliki pandangan bahwa keberagaman merupakan sesuatu yang harus dihilangkan
dengan cara kekerasan. Agama di dunia ini tidak satu pun yang mengajarkan manusia untuk melakukan
sebuah kekerasan atau kejahatan.
Oleh
sebab itu, bukanlah seorang muslim Indonesia apabila memiliki sifat
temperamental. Lebih parah lagi, apabila itu dilakukan oleh seorang ulama. Bagi
penulis, ulama tidak hanya berpenampilan baik, rapi, atau “mengarabkan”
pakaiannya. Bagi penulis, penampilan fisik bukanlah hal penting. Hal yang
paling utama bagi seorang ulama adalah berbicara lembut, santun, dan
menenangkan jiwa setiap muslim. Bukanlah masalah penampilan, lebih radikal
lagi, penulis mengartikan bahwa seorang Kristen yang mampu berbicara seperti
ulama adalah seorang ulama yang dibatasi oleh keimanan. Hal ini menunjukkan
bahwa penulis tidak ingin tertipu dengan penampilan seseorang yang
“mengarabkan” diri.
Tipu
daya pakaian tersebut dapat kita lihat di timur tengah dewasa ini, apakah
dengan berpakaian arab abu bakar al-baghdadi menunjukkan sifat-sifat seorang
muslim yang diajarkan nabi Muhammad SAW? Coba mari kita renungkan hal itu
sesaat. Penulis bahkan berpikiran bahwa alangkah baiknya setiap ahli agama
melepaskan identitasnya dan menceburkan dirinya dalam dunia kegelapan untuk
memberikan cahaya kebaikan. Hal itu perlu dilakukan karena menurut penulis
pakaian tersebut mampu memberikan jurang antara si baik dan si buruk, sehingga
keduanya sulit untuk mengadakan komunikasi. Bukankah nabi Muhammad dilahirkan di
dalam suku yang sangat “gelap” adabnya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar