Sabtu, 26 November 2016

Ulama dan Kesabarannya (Khotbah Jumat, 18 November 2016)

Shalat jumat pada saat itu, khotib memberikan ceramahnya tentang kesabaran. Khotib mencontohkan sebuah peristiwa yang terjadi pada masa kehidupan nabi besar Muhammad SAW. Seorang sahabat pada saat itu dihina dan direndahkan oleh seseorang. Hinaan tersebut terjadi sebanyak tiga kali dan disaksikan oleh nabi Muhammad SAW. Pada saat hinaan ketiga terjadi, sahabat marah dan berusaha membalasnya dengan kekuatan fisik. Akan tetapi nabi Muhammad SAW berdiri.
Ketika nabi Muhammad berdiri, sahabat pun bertanya “Apakah baginda nabi marah kepadaku?”, nabi Muhammad SAW pun menjawab “Tidak, sesungguhnya sebelum kamu marah, aku melihat malaikat menaungimu. Akan tetapi, ketika kamu marah, aku melihat banyak sekali setan disekitarmu, dan aku tidak dapat berdiam diri ketika setan datang.”
Peristiwa ini menunjukkan bahwa umat Islam harus memiliki hati yang tenang dan sabar. Kemudian timbul pemikiran dari penulis bahwa Islam memang diturunkan di tanah arab dengan tujuan untuk memperbaiki akhlak masyarakat arab. Sedangkan mengapa dewasa ini, bangsa Indonesia dijadikan sebagai negara yang memiliki jumlah muslim terbanyak di dunia? Menurut penulis, hal itu disebabkan karena ALLAH ingin menunjukkan bahwa muslim sejati di dunia ini adalah muslim Indonesia yang selalu menjaga kelembutan hati dan kesabarannya serta mampu ikut menjaga perdamaian dunia. Hal itu menunjukkan bahwa muslim Indonesia haruslah menjadi contoh bagi seluruh umat muslim di dunia.
Muslim Indonesia sejatinya mampu menjaga keberagaman yang ada di negerinya, tidak seperti di timur tengah yang saling menumpahkan darah. Muslim Indonesia paham bahwa keberagaman diciptakan untuk dapat saling mengenal dan mewarnai dunia. Bukanlah seorang muslim dan bukanlah seseorang yang memiliki agama apabila memiliki pandangan bahwa keberagaman merupakan sesuatu yang harus dihilangkan dengan cara kekerasan. Agama di dunia ini tidak satu pun  yang mengajarkan manusia untuk melakukan sebuah kekerasan atau kejahatan.
Oleh sebab itu, bukanlah seorang muslim Indonesia apabila memiliki sifat temperamental. Lebih parah lagi, apabila itu dilakukan oleh seorang ulama. Bagi penulis, ulama tidak hanya berpenampilan baik, rapi, atau “mengarabkan” pakaiannya. Bagi penulis, penampilan fisik bukanlah hal penting. Hal yang paling utama bagi seorang ulama adalah berbicara lembut, santun, dan menenangkan jiwa setiap muslim. Bukanlah masalah penampilan, lebih radikal lagi, penulis mengartikan bahwa seorang Kristen yang mampu berbicara seperti ulama adalah seorang ulama yang dibatasi oleh keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa penulis tidak ingin tertipu dengan penampilan seseorang yang “mengarabkan” diri.

Tipu daya pakaian tersebut dapat kita lihat di timur tengah dewasa ini, apakah dengan berpakaian arab abu bakar al-baghdadi menunjukkan sifat-sifat seorang muslim yang diajarkan nabi Muhammad SAW? Coba mari kita renungkan hal itu sesaat. Penulis bahkan berpikiran bahwa alangkah baiknya setiap ahli agama melepaskan identitasnya dan menceburkan dirinya dalam dunia kegelapan untuk memberikan cahaya kebaikan. Hal itu perlu dilakukan karena menurut penulis pakaian tersebut mampu memberikan jurang antara si baik dan si buruk, sehingga keduanya sulit untuk mengadakan komunikasi. Bukankah nabi Muhammad dilahirkan di dalam suku yang sangat “gelap” adabnya?  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar