Rabu, 23 November 2016

memahami bahasa Indonesia

Delapan puluh delapan tahun sudah peristiwa Sumpah Pemuda berlalu. Peristiwa yang memberikan gambaran kepada kita akan janji yang diucapkan oleh para pemuda yang berintikan satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Melalui peristiwa itulah lagu kebangsaan Indonesia Raya dikumandangkan. Salah satu hal yang menjadi sorotan pada saat ini adalah salah satu isi Sumpah Pemuda yang berjanji menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
     
      Janji itu patut dipertanyakan kepada diri kita sebagai bangsa Indonesia. Apakah kita sudah mengerti maksud dari Sumpah tersebut? Coba kita renungkan sesaat janji ketiga dari Sumpah Pemuda itu. Bahasa memiliki fungsi tertentu untuk memisahkan sekaligus menyatukan masyarakat. Fungsi itu dapat dilihat melalui contoh, ketika slamet yang berasal dari suku Jawa berkumpul dengan paijo, painem, dan parinah yang juga berasal dari suku Jawa mereka menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi mereka. Akan tetapi pada saat itu datanglah seseorang yang berasal dari suku Papua yang bernama steve wanggai untuk ikut bergabung dalam kelompok itu. Maka yang harus dilakukan oleh slamet, paijo, painem, dan parinah adalah menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi mereka. Jika slamet, paijo, painem, dan parinah menggunakan bahasa Indonesia maka mereka telah menerapkan fungsi bahasa sebagai alat pemersatu antar suku. Tetapi apabila slamet, paijo, painem, dan parinah masih menggunakan bahasa Jawa ketika steve wanggai ikut bergabung maka mereka tidak mengetahui fungsi bahasa sebagai alat pemersatu.
Banyak orang yang tidak mengerti fungsi bahasa sebagai alat pemersatu. Tidak hanya di kehidupan bermasyarakat akan tetapi di dunia pendidikan juga banyak yang tidak mengerti. Suatu contoh dapat dilihat ketika di dalam sebuah kampus terdapat banyak sekali ragam suku di sebuah kelas akan tetapi suku Jawa adalah suku yang terbanyak di kelas itu. Dosen yang mengajar pun berasal dari suku Jawa dan menggunakan bahasa Jawa. Sehingga salah satu mahasiswa yang berasal dari luar pulau Jawa mengatakan bahwa “Saya tidak mengerti, Pak”. Kalimat itu menunjukkan bahwa dunia pendidikan juga belum mengerti fungsi dan makna Sumpah Pemuda.
Padahal dalam Sumpah Pemuda sudah jelas dinyatakan bahwa Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, maka kita harus menanyakan kepada diri kita apakah kita sudah paham dan menerapkan isi Sumpah Pemuda pada saat ini. Bahkan dalam beberapa hal masyarakat Indonesia sangat bangga dengan kemampuannya dalam berbahasa Inggris, akan tetapi lupa dengan bahasa daerahnya.
Bahasa Inggris memang sangat penting untuk diketahui oleh masyarakat Indonesia untuk ikut serta mengetahui perkembangan dunia. Akan tetapi kebanggaan yang berlebihan dengan menganggap bahwa menggunakan bahasa asing lebih keren dibandingkan menggunakan bahasa Indonesia ini adalah sebuah kesalahan besar. Bahasa yang tidak hanya memiliki fungsi sebagai alat komunikasi dan alat pemersatu bangsa, ternyata juga memiliki fungsi untuk mengetahui pola pikir dan budaya seseorang.
Dengan menggunakan bahasa Inggris yang dianggap lebih keren dibandingkan dengan menggunakan bahasa Indonesia maka orang yang beranggapan seperti itu akan membanggakan budaya orang-orang barat. Hal itu dapat mengakibatkan penerapan budaya dan pola barat di dalam kehidupannya. Melalui budaya dan pola pikir barat, masyarakat Indonesia sengaja dibentuk menjadi masyarakat yang konsumtif.
Masyarakat Indonesia bahkan terkenal sebagai masyarakat pasar produksi barang-barang dunia. Barang-barang terbaru yang bermerk internasional akan menjadi incaran masyarakat kita. Perilaku itu bahkan dicontohkan juga oleh kalangan pejabat kita dan artis-artis yang sering muncul di televisi. Kita tidak paham bahwa dengan kita menjadi masyarakat konsumtif maka yang diuntungkan hanyalah pabrik yang memproduksi barang tersebut di luar negeri. Pabrik itu sama sekali tidak menciptakan lapangan kerja di Indonesia dan hanya menjadikan bangsa Indonesia sebagai pasar potensial mereka. Tidak heran pemerintah seringkali mengadakan kebijakan impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya yang konsumtif. Akan tetapi, anehnya kebijakan ini juga diprotes oleh masyarakat kita. Kita tidak sadar bahwa kita juga ikut berperan aktif dalam kebijakan impor pemerintah tersebut, karena perilaku kita sendiri yang menjunjung tinggi produk internasional.

Pernyataan itu bukan berarti bahwa bahasa Inggris tidak patut untuk dipelajari, akan tetapi keseimbangan antara pengetahuan bahasa asing, bahasa Indonesia, dan bahasa daerah harus diadakan di Indonesia. Hal itu bertujuan agar bahasa daerah dan bahasa Indonesia tidak terasing di negaranya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar