Saya sangat mengutuk
peristiwa rasisme yang terjadi di Malang dan Surabaya. Hal itu tidak terlepas
dari prinsip saya bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia dibangun bukan atas dasar
suku, ras, dan agama tertentu yang merasa paling unggul atau paling berperan. Kemerdekaan
Indonesia diraih atas dasar perjuangan bersama.
Berbicara
tentang rasisme tentu tidak terlepas dari latar belakang persitiwa sejarah yang
pernah dialami bangsa Indonesia dan kesalahan guru-guru sejarah dewasa ini juga
termasuk saya. Bangsa Indonesia ketika dijajah oleh Belanda dianggap sebagai
monyet dan anjing oleh bangsa Belanda. Bahkan saya ingat betul ketika sedang
mencari sumber sejarah dan menemukan poster yang ada di kolam renang bangsa
Eropa bertulisakan “monyet dan anjing dilarang masuk”. Kalimat itu ditujukan
kepada bangsa Indonesia yang dianggap memiliki peradaban rendah dan bahkan
tidak beradab bagi mereka. Saya juga menemukan sebuah tulisan pengalaman
Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat ketika menghadiri pesta perayaan seorang
Belanda. Beberapa tamu undangan menyindirnya dengan menggunakan bahasa Belanda “Hai
kawan lihat monyet itu ternyata juga bisa minum-minuman Eropa tapi pakaiannya
sungguh memalukan”. Kebetulan waktu itu Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat
menggunakan pakaian bangsawan keraton. Orang-orang Belanda itu mengira bahwa
Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat tidak mengerti bahasa Belanda. Kemudian, Pangeran
Aria Achmad Djajadiningrat menghampiri mereka dan mereka pergi karena telah
mengetahui bahwa Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat mengerti bahasa Belanda.
Menurut
professor Ariel Heryanto, pemikiran rasis ini terwarisi kepada bangsa Indonesia
sehingga saudara kita yang berwarna kulit berbeda dianggap tidak beradab. Saya mengiyakan
akan pernyataan tersebut. Beberapa mental rasis, superior dan inferior dapat
kita pahami dengan melihat pernyataan Sukarno dan beberapa bukti sejarah lainnya.
Sukarno pernah mengatakan bahwa “Kita Bangsa Besar, bukan bangsa tempe! Jangan
bermental tempe!”. Kalimat Sukarno ini memiliki makna bahwa bangsa Indonesia
memiliki kekuatan yang besar dan tidak boleh lemah dihadapan bangsa lain. Inilah
yang dinamakan mental inferior, mental ini ada karena memandang seseorang,
kelompok atau bangsa memiliki kekuatan yang lebih besar (superior). Beberapa peristiwa
sejarah pernah saya temukan terutama ketika bangsa Eropa datang ke tanah
Indonesia. Mereka melihat bangsa Indonesia tidak beradab karena menggunakan
pakaian dari kain. Sedangkan dari sudut pandang bangsa Indonesia khususnya yang
berada di garis kemiskinan menganggap bahwa bangsa Eropa sangat beradab karena
menggunakan pakaian modern pada masanya. Perkembangan pemikiran rasis kemudian
dipupuk oleh bangsa Eropa dengan membagi struktur sosial menjadi tiga buah
kelas. Kelas pertama diisi oleh bangsa Eropa, kedua oleh Timur Asing, dan
ketiga diisi oleh bangsa Indonesia.
Sekat-sekat
rasis ini kemudian didobrak dengan lahirnya Indische Partij yang mengedepankan
prinsip Indie voor Indiers demi terwujudnya persatuan. Hindia untuk orang
Hindia, prinsip ini memberikan pengertian bahwa semua orang dari suku, ras, dan
agama manapun yang menganggap tanah Hindia adalah tanah kelahirannya maka orang
itu adalah saudara kita sebangsa dan setanah air. Prinsip inilah yang menjadi
dasar saya dalam mengajar untuk menghapus sekat-sekat SARA yang mulai kembali
dibentuk oleh para politisi demi mendapatkan kedudukan. Saya memberikan contoh
jika bangsa Indonesia tidak memiliki A. R. Baswedan dari keturunan Arab yang
diutus untuk mendapatkan pengakuan Mesir maka Indonesia tidak akan pernah
berdiri. Kemudian jika bangsa Indonesia tidak memiliki laksamana John Lie maka
Indonesia tidak akan pernah mampu menghadapi blokade Belanda ketika agresi
militer berlangsung. Saya selalu menekankan kepada siswa bahwa semua suku,
bangsa, dan agama di Indonesia memiliki peran yang besar untuk kemerdekaan. Oleh
sebab itu, sejarah tidak boleh digunakan untuk mewarisi kebencian kepada
generasi selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar