Selasa, 03 November 2015

Mengapa bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa Nasional? Mengapa tidak bahasa Jawa yang memiliki jumlah pengguna terbanyak di Indonesia?

Kedua buah pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan yang sederhana akan tetapi sulit untuk dijawab. Tulisan ini akan mencoba untuk menjawab kedua buah pertanyaan tersebut. Sebelum mencoba menjawab, terlebih dahulu penulis akan mengkaji fungsi bahasa.
Bahasa merupakan sebuah alat interaksi yang mutlak ada di setiap negara. bahasa juga memiliki fungsi sebagai alat penyambung antara kejayaan masa lalu dan identitas sebuah bangsa. Kenangan akan kejayaan masa lampau suatu negara dapat memberikan semangat nasionalisme kepada generasi selanjutnya dengan cara bekelanjutan. Bahasa memiliki fungsi nasionalisme yang disebut fishman “contrastive self-identification” (identifikasi diri yang konstrastif) atau yang oleh Garvin dan Mathiot disebut “unifying and separating function” (fungsi menyatukan dan sekaligus memisahkan) (Sumarsono, 2013:169).
separating function memiliki arti agar penggunaan bahasa sesuai dengan keadaan yang berlaku. Misal, ketika seorang bersuku Jawa dan sedang berada diluar kelompok sukunya maka orang tersebut akan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Apabila orang tersebut berada dalam kelompok suku Jawa, maka orang tersebut akan menggunakan bahasa Jawa atau dapat disebut bahasa ibu.
Oleh sebab itu, penggunaan bahasa Indonesia sangat baik digunakan ketika individu berinteraksi dengan masyarakat heterogen. Adanya bahasa Indonesia tidak bermaksud untuk menghilangkan bahasa daerah akan tetapi memiliki maksud untuk menyatukan bahasa antar suku. Bahasa daerah sangat baik digunakan oleh individu apabila individu tersebut berinteraksi dalam masyarakat homogen, dimana individu adalah bagian dari masyarakat tersebut.
Fungsi bahasa tersebut mendorong pemuda-pemudi Indonesia pada era pergerakan nasional untuk menentukan bahasa apa yang akan digunakan sebagai bahasa Nasional. Penentuan bahasa Nasional dilakukan pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika sumpah pemuda diucapkan. Penentuan bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa Nasional memiliki pertimbangan yang matang dan latar belakang sejarah yang kuat.
Beberapa ahli memberikan pendapat terkait pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Pertama, sudah menjadi kenyataan sejarah bahwa bahasa Melayu adalah Lingua Franca yang hidup dan telah ratusan tahun menjadi alat interaksi dalam pergaulan dan perdagangan antarsuku bukan hanya di Nusantara, melainkan praktis di seluruh kawasan maritim Asia Tenggara. Kedua, walaupun jumlah penutur bahasa Melayu tidak sebanyak penutur bahasa Jawa, Sunda, dan Madura, bahasa Melayu memiliki daerah penyebaran yang paling luas dan melampaui batas-batas wilayah bahasa lain. Ketiga, menjelaskan petunjuk status sosial dalam undak usuk (tingkatan) bahasa Jawa menjadi sepadan sebagai penyebar ideologi modernis dan nasionalis tentang kewarganegaraan yang sederajat dalam upaya perjuangan bersama membentuk bangsa baru. Keempat, politik bahasa pemerintah jajahan Belanda menyimpang dari pola umum yang berlaku pada masa itu yang memberikan kesempatan bagi bahasa Melayu berkembang. (Katubi, 2008:25-29)
Penggunaan bahasa Melayu telah digunakan oleh beragam suku bangsa di Indonesia sejak ratusan tahun lalu terutama dalam kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi atau perdagangan tersebut dilakukan oleh berbagai macam suku di Indonesia. Jika dilihat dari jumlah penutur, bahasa Melayu digunakan oleh 4,9% penduduk yang berjumlah 60 juta orang pada tahun 1928. Jumlah penutur terbesar adalah bahasa Jawa dengan 47% penduduk (Katubi, 2008:25). Penggunaan bahasa Melayu di bidang ekonomi yang mampu menjangkau seluruh suku bangsa di Indonesia merupakan nilai positif dibandingkan dengan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa tidak dipilih sebagai bahasa Nasional karena memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Tingkat kesulitan penguasaan bahasa Jawa terdapat pada tingkatan penggunaan bahasa. Tingkatan penggunaan bahasa Jawa seperti bahasa ngoko, krama, krama hinggil. Hal tersebut menyulitkan suku bangsa lain untuk belajar dan dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
Pemerintahan kolonial yang mewajibkan bahasa Belanda dipelajari oleh bangsawan Indonesia memberikan pengaruh terhadap terpilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa Nasional. Orang-orang Eropa atau penjajah biasa menggunakan bahasa Belanda terhadap sesamanya atau berinteraksi dengan bangsawan Indonesia. Kebijakan tersebut membuat bahasa Melayu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang berada dalam garis kemiskinan serta penindasan.
Berbagai pertimbangan tersebut menggambarkan bahwa pemuda-pemudi Indonesia memiliki tingkat kecerdasan yang sangat tinggi. Pemuda-pemudi Indonesia memilih bahasa Melayu untuk menghindari konflik antar kelas sosial dan mengedepankan persatuan antar suku bangsa di Indonesia. Alangkah baiknya jiwa mereka dan sangat layak untuk diteladani. Pemuda-pemudi Indonesia pada era pergerakan nasional memiliki semangat persatuan yang tinggi tanpa membeda-bedakan ras, suku, dan agama. Bagi mereka siapa yang berjuang untuk Indonesia merdeka adalah saudara.
Dewasa ini, beberapa orang bangga menggunakan bahasa internasional dan melupakan bahasa Indonesia. Penulis memiliki sebuah pengalaman yang sangat berharga untuk disampaikan. Ketika penulis kuliah dengan Prof. Husain Haikal, beliau memberikan tugas untuk meresensi jurnal berbahasa inggris. Resensi tersebut kemudian ditulis ke dalam bahasa Indonesia.
Pada saat itu terdapat beberapa kata dengan menggunakan bahasa inggris. Ketika tugas tersebut dikumpulkan, beliau menyarankan agar mencari kata-kata tersebut dengan bahasa Indonesia. Pada saat itu penulis berpikiran bahwa Prof. Husain Haikal mengajarkan bahwa mengerti bahasa asing itu sangat penting untuk menambah wawasan tetapi bukan berarti mengganti atau menggeser bahasa Indonesia.
Mungkin pelajaran tersebut juga terdapat di era pergerakan nasional, dimana bahasa Belanda menjadi bahasa utama dalam dunia pendidikan. Pada saat itu, keluarga bangsawan Indonesia tidak hanya mengajarkan bahasa Belanda kepada anak-anaknya akan tetapi anak-anak tersebut dibekali dengan budaya bangsanya sehingga mereka tidak akan pernah lupa sejarah dan identitas dirinya.
Keluarga bangsawan Indonesia yang menerapkan konsep tersebut adalah keluarga Hamengku Bawana IX dan Raden Ajeng Kartini. Hamengku Bawana IX ditanamkan kebudayaan Jawa oleh ayahnya sebelum dititipkan kepada sebuah keluarga di Belanda untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Raden Ajeng Kartini berusaha mempelajari bahasa Belanda untuk menambah ilmu pengetahuannya. Raden Ajeng Kartini mengatakan bahwa dengan pendidikan kami bertujuan menjadikan orang Jawa sebagai orang Jawa sejati, orang Jawa yang dijiwai dengan cinta dan semangat untuk tanah air dan bangsanya (2011: 259).
Oleh sebab itu, Bahasa internasional memang harus dimengerti akan tetapi bukan menggantikan bahasa nasional menjadikan bahasa kedua di Indonesia. Pada tahun 2008, sejarawan Asvi Warman Adam mengusulkan untuk dibentuknya polisi bahasa. Usul tersebut bertujuan agar bahasa Indonesia digunakan dalam setiap kegiatan dengan skala nasional dan penamaan lembaga pemerintah. Bahkan Sudjoko menyatakan bahwa kaum akademisi Indonesia memandang rendah bahasa Indonesia yang dianggap tidak memiliki kosa kata yang memadai dan tidak akan mampu menjadi bahasa perguruan tinggi (katubi, 2008: 36).
Setujukah anda agar polisi bahasa dibentuk? Setujukah anda agar bahasa internasional tidak digunakan berlebihan? Setujukah anda agar akademisi dan pejabat tinggi lebih menghargai bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa internasional lebih bijak? Mari kita gunakan bahasa Indonesia agar kita bangga dengan keIndonesiaan kita dan tidak melupakan sejarah bahasa bangsa Indonesia.

Sumber:
Katubi. (2008). Bahasa dan Nasionalisme di Indonesia: Kajian Politik Bahasa. Jakarta: Masyarakat Indonesia. Edisi XXXIV No. 2. 
Sumarsono. (2013). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kartini. (2011). Habis Gelap Terbitlah Terang. Yogyakarta: Narasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar