Kedua buah pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan
yang sederhana akan tetapi sulit untuk dijawab. Tulisan ini akan mencoba untuk
menjawab kedua buah pertanyaan tersebut. Sebelum mencoba menjawab, terlebih
dahulu penulis akan mengkaji fungsi bahasa.
Bahasa merupakan
sebuah alat interaksi yang mutlak ada di setiap negara. bahasa juga memiliki
fungsi sebagai alat penyambung antara kejayaan masa lalu dan identitas sebuah
bangsa. Kenangan akan kejayaan masa lampau suatu negara dapat memberikan
semangat nasionalisme kepada generasi selanjutnya dengan cara bekelanjutan. Bahasa
memiliki fungsi nasionalisme yang disebut fishman “contrastive self-identification” (identifikasi diri yang
konstrastif) atau yang oleh Garvin dan Mathiot disebut “unifying and separating function” (fungsi menyatukan dan sekaligus
memisahkan) (Sumarsono, 2013:169).
separating
function memiliki arti agar penggunaan bahasa sesuai dengan
keadaan yang berlaku. Misal, ketika seorang bersuku Jawa dan sedang berada
diluar kelompok sukunya maka orang tersebut akan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa Indonesia. Apabila orang tersebut berada dalam kelompok suku
Jawa, maka orang tersebut akan menggunakan bahasa Jawa atau dapat disebut
bahasa ibu.
Oleh sebab itu,
penggunaan bahasa Indonesia sangat baik digunakan ketika individu berinteraksi
dengan masyarakat heterogen. Adanya bahasa Indonesia tidak bermaksud untuk menghilangkan
bahasa daerah akan tetapi memiliki maksud untuk menyatukan bahasa antar suku.
Bahasa daerah sangat baik digunakan oleh individu apabila individu tersebut
berinteraksi dalam masyarakat homogen, dimana individu adalah bagian dari
masyarakat tersebut.
Fungsi bahasa
tersebut mendorong pemuda-pemudi Indonesia pada era pergerakan nasional untuk
menentukan bahasa apa yang akan digunakan sebagai bahasa Nasional. Penentuan
bahasa Nasional dilakukan pada tanggal 28 Oktober 1928, ketika sumpah pemuda
diucapkan. Penentuan bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa Nasional memiliki
pertimbangan yang matang dan latar belakang sejarah yang kuat.
Beberapa ahli
memberikan pendapat terkait pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Pertama, sudah menjadi kenyataan sejarah
bahwa bahasa Melayu adalah Lingua Franca yang
hidup dan telah ratusan tahun menjadi alat interaksi dalam pergaulan dan
perdagangan antarsuku bukan hanya di Nusantara, melainkan praktis di seluruh
kawasan maritim Asia Tenggara. Kedua,
walaupun jumlah penutur bahasa Melayu tidak sebanyak penutur bahasa Jawa,
Sunda, dan Madura, bahasa Melayu memiliki daerah penyebaran yang paling luas
dan melampaui batas-batas wilayah bahasa lain. Ketiga, menjelaskan
petunjuk status sosial dalam undak usuk
(tingkatan) bahasa Jawa menjadi sepadan sebagai penyebar ideologi modernis dan
nasionalis tentang kewarganegaraan yang sederajat dalam upaya perjuangan
bersama membentuk bangsa baru. Keempat,
politik bahasa pemerintah jajahan Belanda menyimpang dari pola umum yang
berlaku pada masa itu yang memberikan kesempatan bagi bahasa Melayu berkembang.
(Katubi, 2008:25-29)
Penggunaan
bahasa Melayu telah digunakan oleh beragam suku bangsa di Indonesia sejak
ratusan tahun lalu terutama dalam kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi atau
perdagangan tersebut dilakukan oleh berbagai macam suku di Indonesia. Jika
dilihat dari jumlah penutur, bahasa Melayu digunakan oleh 4,9% penduduk yang
berjumlah 60 juta orang pada tahun 1928. Jumlah penutur terbesar adalah bahasa Jawa
dengan 47% penduduk (Katubi, 2008:25). Penggunaan bahasa Melayu di bidang
ekonomi yang mampu menjangkau seluruh suku bangsa di Indonesia merupakan nilai
positif dibandingkan dengan bahasa Jawa.
Bahasa Jawa
tidak dipilih sebagai bahasa Nasional karena memiliki tingkat kesulitan yang
tinggi. Tingkat kesulitan penguasaan bahasa Jawa terdapat pada tingkatan
penggunaan bahasa. Tingkatan penggunaan bahasa Jawa seperti bahasa ngoko,
krama, krama hinggil. Hal tersebut menyulitkan suku bangsa lain untuk belajar
dan dapat menimbulkan kecemburuan sosial.
Pemerintahan
kolonial yang mewajibkan bahasa Belanda dipelajari oleh bangsawan Indonesia
memberikan pengaruh terhadap terpilihnya bahasa Melayu sebagai bahasa Nasional.
Orang-orang Eropa atau penjajah biasa menggunakan bahasa Belanda terhadap
sesamanya atau berinteraksi dengan bangsawan Indonesia. Kebijakan tersebut
membuat bahasa Melayu tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang berada dalam
garis kemiskinan serta penindasan.
Berbagai
pertimbangan tersebut menggambarkan bahwa pemuda-pemudi Indonesia memiliki
tingkat kecerdasan yang sangat tinggi. Pemuda-pemudi Indonesia memilih bahasa
Melayu untuk menghindari konflik antar kelas sosial dan mengedepankan persatuan
antar suku bangsa di Indonesia. Alangkah baiknya jiwa mereka dan sangat layak
untuk diteladani. Pemuda-pemudi Indonesia pada era pergerakan nasional memiliki
semangat persatuan yang tinggi tanpa membeda-bedakan ras, suku, dan agama. Bagi
mereka siapa yang berjuang untuk Indonesia merdeka adalah saudara.
Dewasa ini, beberapa
orang bangga menggunakan bahasa internasional dan melupakan bahasa Indonesia.
Penulis memiliki sebuah pengalaman yang sangat berharga untuk disampaikan.
Ketika penulis kuliah dengan Prof. Husain Haikal, beliau memberikan tugas untuk
meresensi jurnal berbahasa inggris. Resensi tersebut kemudian ditulis ke dalam
bahasa Indonesia.
Pada saat itu
terdapat beberapa kata dengan menggunakan bahasa inggris. Ketika tugas tersebut
dikumpulkan, beliau menyarankan agar mencari kata-kata tersebut dengan bahasa
Indonesia. Pada saat itu penulis berpikiran bahwa Prof. Husain Haikal
mengajarkan bahwa mengerti bahasa asing itu sangat penting untuk menambah
wawasan tetapi bukan berarti mengganti atau menggeser bahasa Indonesia.
Mungkin
pelajaran tersebut juga terdapat di era pergerakan nasional, dimana bahasa
Belanda menjadi bahasa utama dalam dunia pendidikan. Pada saat itu, keluarga
bangsawan Indonesia tidak hanya mengajarkan bahasa Belanda kepada anak-anaknya
akan tetapi anak-anak tersebut dibekali dengan budaya bangsanya sehingga mereka
tidak akan pernah lupa sejarah dan identitas dirinya.
Keluarga
bangsawan Indonesia yang menerapkan konsep tersebut adalah keluarga Hamengku
Bawana IX dan Raden Ajeng Kartini. Hamengku Bawana IX ditanamkan kebudayaan
Jawa oleh ayahnya sebelum dititipkan kepada sebuah keluarga di Belanda untuk
mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Raden Ajeng Kartini berusaha
mempelajari bahasa Belanda untuk menambah ilmu pengetahuannya. Raden Ajeng Kartini
mengatakan bahwa dengan pendidikan kami bertujuan menjadikan orang Jawa sebagai
orang Jawa sejati, orang Jawa yang dijiwai dengan cinta dan semangat untuk
tanah air dan bangsanya (2011: 259).
Oleh sebab itu, Bahasa
internasional memang harus dimengerti akan tetapi bukan menggantikan bahasa
nasional menjadikan bahasa kedua di Indonesia. Pada tahun 2008, sejarawan Asvi
Warman Adam mengusulkan untuk dibentuknya polisi bahasa. Usul tersebut
bertujuan agar bahasa Indonesia digunakan dalam setiap kegiatan dengan skala
nasional dan penamaan lembaga pemerintah. Bahkan Sudjoko menyatakan bahwa kaum
akademisi Indonesia memandang rendah bahasa Indonesia yang dianggap tidak
memiliki kosa kata yang memadai dan tidak akan mampu menjadi bahasa perguruan
tinggi (katubi, 2008: 36).
Setujukah anda
agar polisi bahasa dibentuk? Setujukah anda agar bahasa internasional tidak
digunakan berlebihan? Setujukah anda agar akademisi dan pejabat tinggi lebih
menghargai bahasa Indonesia dan menggunakan bahasa internasional lebih bijak?
Mari kita gunakan bahasa Indonesia agar kita bangga dengan keIndonesiaan kita
dan tidak melupakan sejarah bahasa bangsa Indonesia.
Sumber:
Katubi. (2008). Bahasa dan Nasionalisme di
Indonesia: Kajian Politik Bahasa. Jakarta: Masyarakat
Indonesia. Edisi XXXIV No. 2.
Sumarsono. (2013). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kartini. (2011). Habis
Gelap Terbitlah Terang. Yogyakarta: Narasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar